Minggu, 13 Maret 2011

Pengajaran shalat 2

Oleh Rifqi Ridlo P.
Disarikan dari beberapa Buku



1.    Hukum Shalat.

1.1.    Hukum asal shalat adalah Wajib. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW, yang didalamnya menerangkan bahwa rukun Islam sebagai identitas keislaman seseorang itu didalamnya terdiri atas salah satunya shalat.
Wajib dan/atau fardlu dalam Islam itu dapat dikategorikan kedalam dua jenis. Yakni Wajib ‘ain dan wajib kifayah. Wajib ‘ain adalah kewajiban atas suatu tuntunan shalat yang pelaksanaannya dibebankan terhadap tiap-tiap individu/ perseorangan. Dalam hal ini, islam mewajibkan tiap-tiap individu shalat 5 waktu tiap harinya. Sebagaimana hadits rasulullah SAW. Yang artinya “ya rasulullah, khabarkanlah kepada saya sembahyang apakah yang difardlukan oleh Allah atas saya? Jawab rasulullah, sembahyang yang lima, kecuali kalau engkau mau sembahyang sunnah”.
Wajib kifayah, adalah kewajiban atas suatu shalat yang dibebankan kepada suatu jama’ah/ masyarakat/ lingkungan, dimana kewajiban itu akan menjadi gugur (berubah hukum wajibnya) manakala ada sebagian dari anggota jama’ah/masyarakat tersebut yang melaksanakannya. Contohnya adalah shalat jenazah (dalam beberapa pandangan shalat ini hukumnya tidak sampai pada derajad wajib)
1.2.    Shalat bisa berhukum sunnah. Sunnah yang di maksud disini adalah ibadah shalat yang diadakan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw di selain shalat 5 waktu tersebut, yang dianjurkan untuk kita sebaiknya meniru melaksanakannya. Dari ketentuan hadits Rasulullah saw. Diatas, maka dapat dilihat bahwa ada shalat-shalat lain selain lima waktu, yang jika kita melaksanakannya sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan RasulNya maka ada ganjaran yang besar di sisi Allah. Contohnya, shalat gerhana, shalat sunnah rawatib, shalat dluha, shalat thuhur, dll.
1.3.    Shalat bisa berhukum Haram, jika shalat yang dikerjakan tersebut tidak ada aturan dan tuntunannya dalam qur’an atau hadits, semisal shalat sunnah ba’diyah ashar atau shalat taubat. Kita juga dilarang melaksanakan suatu shalat yang amalannya kita buat atau ada-adakan sendiri, semisal mengkhususkan shalat dengan qunut pada saat shubuh saja.

2.    Kewajiban Sebelum Shalat.
2.1.    Kewajiban yang menyertai shalat ada tiga hal, yakni Niyat, Bersuci dari hadats besar dan kecil dan suci dari najis.
2.2.    Niyat adalah sesuatu yang wajib sebelum shalat, karena penilaian atas shalat seorang hamba akan dihitung berdasarkan niyat yang mengiringi shalatnya. Untuk itu sebenar-benar niyat adalah ridlo Allah SWT.
Niyat juga menjadi tanda bagi kehadiran dan kesadaran seseorang dalam beribadahnya. Niyat tidak harus dilafadzkan, karena yang dimaksud niyat disini adalah adanya kesadaran dalam hati dan akal seseorang untuk melakukan sesuatu. Karena niyat adalah bagian dari ibadah shalat, maka mengucapkan niyat dengan lafadz tertentu dan dalam tuntunan tertentu harus didasarkan pada dalil (dasar hkum) yang shahih. Tanpa dalil, maka amalan tersebut dianggap bid’ah dan hukumnya haram.
2.3.    Bersuci dari hadats dalam islam ada tiga cara, yakni mandi, wudlu dan tayammum.
Wudlu dilakukan untuk mesucikan hadats kecil, yakni kentut, kencing dan berak. Tatacaranya adalah dengan cuci tangan, kemudian berkumur, kemudian mencuci muka, kemudian mencuci tangan sampai siku, kemudian menyapu kepala dengan disertai mengusap telinga, mencuci kedua belah kaki sampai mata kaki.
Mandi dilakukan untuk mensucikan hadats besar, yakni bagi wanita selepas haid atau nifas, bagi laki-laki setelah mimpi, dan bagi suami-istri selepas Jima’. Tata cara mandi adalah sebagaimana biasanya ketika kita mandi lengkap (kesaramas, bersabun dan gosok gigi) dengan diawali dengan wudlu terlebih dahulu.
Tayammum adalah cara bersuci yang dilakukan manakala tidak didapati air sebagai sarana untuk bersuci, atau dalam kondisi tertentu yang tidak dimungkinkan bersuci dengan air.
2.4.    Suci dari najis disini adalah bahwa sebelum melaksanakan shalat, seseorang wajib membersihkan badan dan tempt shalatnya dari najis, serta bershalat ditempat yang tidak dilarang untuknya shalat.

MENYENTUH PEREMPUAN SESUDAH WUDLU

Disarikan dari Kata Berjawab Ust. A. Qadir Hasan

Laki-laki yang sudah berwudlu lalu bersentuhan dengan istrinya sendiri atau perempuan lain, sengaja atau tidak, tidak membatalkan wudlunya karana tidak terdapat satupun dalil Agama yang mengatakan batal.
Orang yang mengatakan persentuhan itu membatalkan wudlu menunjukkan beberapa keterangan yang dianggapnya dalil, yaitu:

Alasan pertama:
Ada satu riwayat panjang dari Mu’azd bin Jabal. Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Saw hukum orang bersentuhan dengan perempuan (selain bersetubuh). Ketika itu tutun ayat Al Qur’an (Surah Hud 114) kemudian Rasulullah Saw memerintahkan orang itu berwudlu dan shalat.
Mereka berpendapat nahwa bersentuhan dengan perempuan itu membatalkan wudlu, sebab kalau tidak tentu Nabi Saw tidak memerintahkannya berwudlu.

Bantahan:
Hadits Mu’adz ini diriwayatkan oleh Imam-imam: Ahmad, Daraquthni, dll, tetapi tidak sah, karena diantara yang menceritakannya ada yang terputus, yaitu Abdurrahman bin Abi Laila yang meriwayatkannya tidak mendengar dari Mu’adz tersebut. Maka tidak dapat dijadikan alasan.

Alasan kedua:
Mereka bawakan firman Allah, yaitu surah An-Nisa 43, yang artinya:
Dan jika kamu sakit atau dalam pelayaran atau seorang dari kamu habis buang air atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air, maka hendaklah kamu bertayamun dengan debu yang bersih... (An-Nisa: 43).
Dalam ayat ini ada kata-kata “Laamastum” mereka artikan “sentuh”, jadi sentuh perempuan membatalkan wudlu.

Bantahan:
  1. Jika benar lamastum itu bermakna “bersentuhan biasa”, tentu bersentuhan dengan ibu, saudara perempuan, anak perempuan juga harusnya membatalkan wudlu. Sebab ayai itu hanya menyentuh “perempuan” dengan tidak terkecuali dan tidak ada keterangan lain mengecualikan ibu, saudara, dan anak perempuan.
Tetapi golongan ini menetapkan bahwa bersentuhan dengan ibu, saudara, dan anak perempuan tidak membatalkan wudlu.
Jika ditanya apa dalilnya ibu dan sebagainya itu dikecualikan, mereka menjawab bahwa bersentuhan dengan ibu, saudara, dan anak perempuan itu tidak menimbulkan syahwat. Dasar mereka ialah tentang “timbulnya syahwat”.
Kalau dasarnya “timbulnya syahwat” maka bilamana seseorang melihat seorang perempuan dapat menimbulkan syahwat, walaupun tidak keluar madzi, tentu membatalkan wudlunya. Tetapi mereka tidak berkata demikian. Adanya ketidakseimbangan antara dalil dan fakta yang mereka bawakan menimbulkan keraguan.
  1. Lamastum tidak dapat dimaknai “bersentuhan biasa”, sebab Nabi Saw pernah mencium salah satu istrinya sesudah berwudlu, sebagaimana diriwayatkan, yang artinya :
Dari Aisyah bahwa Nabi Saw mencium salah seorang isterinya kemudian beliau shalat tidak berwudlu (lagi)” (Abu Dawud). Riwayat ini sah dengan beberapa jalan (sanad) dari Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Al Bazzar.
Jika “bersentuhan dengan perempuan” membatalkan wudlu, tentu Nabi Saw tidak langsung mengerjakan shalat.
  1. Ada riwayat lain dari Aisyah
Artinya : “’Aisyah berkata : Pada malam saya kehilangan Rasulullah Saw dari tempat tidur, lalu saya mencari-cari beliau, maka terletaklah kedua tangan saya pada tapak kaki beliau yang tercacak, sedang beliau dalam sujud... (Muslim)”.
Jika benar menyentuh perempuan membatalkan wudlu, tentu sesudah kaki Nabi Saw disentuh ‘Aisyah, beliau batalkan shalatnya. Tetapi dalam riwayat itu Rasulullah Saw tetap meneuskan shalat.

Kesimpulan:
Tidak ada dalil yang membatalkan wudlu karena persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang mana saja.

HUKUM MEMEGANG QUR’AN

Oleh : A. Qadir Hasan dalam Kata Berjawab

Yang boleh memegang Qur’an hanya bagi orang-orang yang masih mempunyai wudlu?
Ulama yang menetapkan harus berwudlu lebih dahulu untuk memegang Qur’an mengemukakan beberapa keterangan:
Alasan pertama : Mereka berkata Hadits Nabi saw, yang artinya : “Tidak boleh menyentuh Qur’an melainkan orang yang bersih”.
Bantahan : Hadits ini diriwayatkan oleh Imam-imam : daraquthny, Hakim, Baihaqi, Thabarani, Abu Dawud, Malik. Tetapi tidak ada satupun yang sah. Karena itu tidak dapat dijadikan dalil “harus berwudlu”.

Alasan kedua, mereka membawa ayat, yang artinya: “Tidak boleh menyentuh Qur’an melainkan orang yang muthahharun” (Al-Waqi’ah 79). Muthahharun diartikan “orang yang suci”. Suci ini ditujukan kepada wudlu dan mandi janabat. Jadi artinya: “tidak boleh menyentuh Qur’an melainkan orang yang berwudlu (dan yang bersih dari janabat).
Bantahan : Ayat ini Allah turunkan untuk menolak tuduhan orang-orang kafir yang mengatakan “Qur’an diturunkan kepada Nabi Saw oleh syaithan”.
Menurut susunan ayat yang sebelumnya dan menurut keterangan yang kuat, muthahharun itu artinya “yang disucikan” dan maksudnya ialah “malaikat”. Sehingga arti Al-Waqiah 79 dari permulaan adalah : “ Sesungguhnya itu, ialah Qur’an yang mulia, yang ada di kitab yang tersembunyi ( Lauh Mahfuzh ), yang tidak disentuh dia melainkan oleh mereka yang disucikan ( malaikat )
Jadi alasan-alasan di atas tidak ada yang dapat dijadikan dalil, maka tidak dapat kita mengharuskan “orang berwudhu dahulu untuk memegang atau menyentuh Qur’an”.
Kita sebagai pemeluk Agama Islam yang yakin betul-betul bahwa Qur’an itu mulia dan datangnya dari Allah, sewajibnya kita memuliakan Qur’an. Dan syarat-syarat memuliakannya, kita pelajari isisnya lalu kita mengamalkan apa-apa yang Allah perintah dan menjauhi apa-apa yang dilarang. Tetapi “wudlu” tidak dikerjakan sebagai syarat memuliakan Qur’an sebab tidak ada perintahnya dari Agama.

WUDLU SESUDAH MANDI

Oleh: A. Qadir Hasan 
(Kata Berjawab)

Sesudah mandi tidak perlu wudlu. sudah ada riwayat dari Nabi saw yang sahih, yaitu : (Artinya) Berkata Aisyah, “Adalah rasulullah Saw tidak berwudlu (lagi) sesudah mandi.” (Sahih Turmudzi dan lainnya).
Dalam riwayat Aisyah tersebut tidak diterangkan mandi yang mana, mandi janabat atau mandi biasa. Karena itu harus kita umumkan kata-kata “mandi” diriwayat tersebut.
Dalam ilmu ushul, dikatakan : ”Yang umum itu tetap atas keumumannya”. Maksudnya suatu perkataan dari Nabi saw yang maknanya umum (tidak ada yang membatasinya) harus dimaknai dengan umum pula, selama tidak ada keterangan yang menentukannya kepada sesuatu hal (yang lebih khusus).

Adakah niat untuk mandi janabat atau mandi biasa?
Untuk mandi janabat tidak ada perimtah satupun dari Agama yang menyuruh kita untuk nerniat ketika hendak mandi karena mandi janabat itu sebagai satu wasilah (cara) untuk menyempurnakan sesuatu ibadat. Mandi janabat ini bukan sebagai satu maq-shid (ibadat yang dituju).
Mandi janabat dikerjakan bukan karena mandi janabatnya, tetapi karena hendak mengerjakan shalat. Jadi yang dinamakan ibadat ialah shalat, sedang mandi janabat hanya sebagai jalan menuju shalat. Untuk jalan (wasilah) itu tidak perlu adanya ”niat”.
Jika mandi janabat yang ada hukumnya dengan suatu ibadat , sudah tidak perlu kepada niat, tentu mandi biasa lebih-lebih tidak perlu lagi adanya niat.

Adakah niat untuk wudlu?
Wudlu sama dengan mandi janabat di atas. Untuk wudlu juga tidak perlu kepada niat, karena wudlu bukan satu ibasat yang berdiri sendiri tetapi wudlu itu satu jalan ke shalat (pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Tsauri).
Jika seseorang mandi biasa, lalu dengan mandi ini anggota-anggota wudlunya terkena air sampai merata dinamakan dia sudah berwudlu dan sah wudlunya untuk shalat.

Dasar untuk berwudlu dan apakah mandi sudah termasuk berwudlu?
Dasar untuk mengerjakan wudlu terdapat dalam surat Al Maidah 6, yang artinya : ”Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka cucilah muka-muka kamu dan tangan-tangan kamu sampai siku-siku kamu dan sapulah kepala-kepala kamu, dan cucilah kaki-kaki kamu sampai dua mata kaki ...”
Dalam ayat ini Allah menyuruh kita untuk mencuci muka, tangan dan kaki, dan menyapu kepala. Perbuatan ini dinamakan wudlu. Dan Allah pun menyuruh kita untuk mengambil contoh dari Rasullah Saw dengan firman, yang artinya : Sesungguhnya adalah bagi kamu pada diri Rasulullah saw terdapat contoh yang baik (Al- Ahzab 21).
Contoh dari Nabi Saw ialah apabila sesudah mandi tidak berwudlu lagi. Perbuatan Rasulullah Saw, sesudah mandi tidak berwudlu itu tidak menyalahi firman Allah di Al-Maidah 6, karana di dalam mandi itu, sudah ada hal mencuci muka, mencuci tangan, mencuci kaki, dan menyapu kepala yang biasa disebut ”wudlu”.
Dalam hal ini, seorang sahabat nabi Saw bernama Hudzaifah berkata : Apakah tidak cukup seseorang dari kamu mandi, dari atas kepalanya sampai kakinya, sehingga ia mau berwudlu lagi?
Diriwayatkan dari Ibnu Umar : Tatkala orang bertanya tentang berwudlu sesudah mandi, nabi Saw bersabda ; Wudlu yang manakah yang lebih rata dari mandi? (Ibnu Abi Syaibah).
Ada riwayat lain, yang artinya : Seseorang laki-laki berkata kepada Inbu Umar, :Sesungguhnya saya berwudlu sesudah mandi.” Maka Ibnu Umar berkata : Sebenarnya engkau telah melebih-lebihkan. (Ibnu Abi Syaibah).
Tiga riwayat di atas menunjukkan bahwa mandi itu cukup, lebih meratai dari wudlu dan menunjukkan juga bahwa orang yang berwudlu sesudah mandi adalah melewati batas.

Bukankah dalam wudlu ada tertibnya, sedang dengan mandi tidak terdapat tertib untuk wudlu itu?
Disurat Al-Maidah 6, mula-mula Allah sebut muka lalu tangan, sesudah itu kepala, kemudian kaki. Diantara kata-kata muka, tangan, kepala, dan kaki ini ada huruf wau yang artinya “dan”, wau (dan) dalam bahasa Arab dikatakan lijami’i (untuk mengumpulkan semua itu), bukan littartib (untuk tertib).
Dalam riwayat-riwayat memang dinyatakan Nabi Saw berwudlu dengan tertib seperti susunan al Maidah 6 seperti perintah Rasulullah Saw., “mesti tertib” tidak ada Haditsnya yang sah.
Semata-mata perbuatan Nabi Saw tentang itu, tidak menunjukkan bahwa “wajib tertib”. Paling tinggi perbuatan Nabi Saw itu menunjukkan kepada sunnat tertib.
Demikian pendapat shahabat Nabi Saw, Ibnu Mas’ud dan Imam-imam : malik, Abu Hanifah, dawud, Tsauri, Bashri, Ibnul Masayyab, Atha, Zuhri dan Nakh’i. Oleh karena itu, tidak salah sesudah mandi tidak berwudlu.

DALIL MEMELANKAN BACAAN SAAT SHALAT ZHUHUR DAN ASHAR

Oleh Rifqi
disarikan dari beberapa tulisan A. Hasan dan A. Qadir.

PERTANYAAN :
kenapakah tidak dinyaringkan bacaan Al-Fatihah dan Surah oleh imam pada berjama'ah zhuhur dan ashar sedang si ma'mum siap untuk mendengar ?

JAWABAN :
sebenarnya bacaan Al-Fatihah atau Surah dalam shalat berjama'ah dhuhur dan ashar boleh dibacaa perlahan atau juga dibaca pelan, sebagaimana kata Aabu Qatadah berikut :
artimya : adalah Rasulullah SAW, shalat mengimami kami. maka ia membaca dalam shalat zhuhur dan ashar di dua raka'at pertama Al-Fatihah dan Dua surah, dan berkadang ia dengarkan (nyaringkan) ayat itu untuk kami.” (Bukhori dan Muslim...BM: 306)
soal imam tidak menyaringkan bacaan itu, kemungkinan karena beberapa sebab berikut :
  1. Mungkin berpendirian bahwa lebih baik tidak menyaringkan karena Nabi saaaw. lebih sering membacanyaa dengan suara yang tidak nyaring.
  2. Mungkin si imam berpendirian bahwa “tidaak boleh menyaringkan bacaan”.
Soal ma'mum siap untuk mendengarkan itu, tidak perlu dijadikan pembicaraan, karena si imam boleh menyaringkan dan boleh pula memperlahankan. kalau imam baca dengan suara lantang, maka sebagaimana bahasan sebelumnya bahwa waajib bagi ma'mum untuk diam dan mendengarkan. sedangkan jika imam membacanya dengan perlahan, maka adalah kewaajiban bagi ma'mum untuk membaca apa-apa yang tidak diperdengarkan oleh imam kepadanya.

Kesuksesan Hanya Ada Bagi Penyabar

Oleh : Rifqi Ridlo Phahlevy.

Dinamika kehidupan umat manusia kian hari semakin kompleks, dimana pertaruhan yang ada bukan lagi sekedar harta dan tahta, tetapi lebih dari itu kini kita dihadapkan arus kehidupan yang menjadikan aqidah dan kemanusiaan kita sebagai taruhannya. bagaimana tidak. Dengan tingginya persaingan untuk tetap hidup dan berkesejahteraan, kita dhadapkan pada pola dunia global yang tidak mengenal halal dan haram, baik dan buruk, saudara atau musuh. Globalisasi tidak mengenal kemenangan bersama, tidak ada kata senasib seperjuangan, yang ada adalah menindas atau ditindas, memonopoli atau dimonopoli. Imbasnya adalah banyak RSJ yang sould out karena banyak orang yang stress dan depresi, Miras dan Narkotika laris diserbu oleh mereka yang ingin lari dari kenyataan hidupnya. Na'udzubillahi min dzalik.
Sebagai muslim, marilah kita kembali pada ajaran Islam, karena bagi muslim tiada tempat kembali yang paling benar kecuali pada agamanya, yakni tuntunan Allah dan Rasulullah saw.
Islam sebagai agama yang tertinggi dan tanpa tanding sesungguhnya telah memprediksi akan adanya zaman edan seperti saat ini, sebagaimana tersirat dalam firman Allah, bahwa :
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya : Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah : 155)
Dalam ayat tersebut serta banyak ayat lain Allah telah berikan resep bagi muslim untuk terhindar dari kehinaan dan kenistaan itu, yakni dengan SABAR. sebagaimana juga tuntunan Al-Qur'an berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah : 153)
Perintah bersabar yang menjadi satu paket dengan berlindung pada shalat dalam ayat tersebut begitu jelas dan tegas. Perintah tersebut mengandung pengertian yang mendalam, seorang yang ahli shalat selayaknya menjadi sosok yang penyabar, karena kesabaran adalah cermin dari kekhusyu'an shalat muslim tersebut.

Konsepsi Sabar Dalam Islam
Banyak orang akan mempertanyakan dan bahkan mungkin mencibir tentang solusi yang ditawarkan Islam ini. Kenapa kok sabar? cibiran dan pertanyaan itu secar logikal pantas dilayangkan jika sabar itu difahami sebagaimana umumnya dipadankan dengan sikap menyerah dan putus asa sebagaimana “biarlah”, “menyerah”, “trima saja” dan “ya sudah lah”.
Sikap diatas bukanlah sikap sabar sebagaimana ajaran Islam tentang sabar. Sabar dalam islam adalah sikap penghambaan sepenuhnya yang karenanya pula penyerahan diri dan apapun kondisi diri pada Allah. Dalam konteks ini sabar bukan menyerah pada keadaan, tetapi amal progresif yang istiqomah dalam balutan jiwa yang penuh keihlasan atas qadla' dan qadar Allah.
Konsep sabar dalam Islam dapat diuraikan sebagai berikut, pertama adalah Istiqamah. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” {Ali – Imran : 200)
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
Artinya : Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu. (Muhammad : 31)
Ayat diatas menjelaskan bahwa bersabar itu harus ada sejak dan dalam perjuangan kita. Sabar dalam ayat tersebut dimaksudkan pada idealitas sikap muslim yang senantiasa beristiqamah dalam perjuangan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. sikap yang tak kenal menyerah dan selalu percaya pada Allah bahwa apa yang diusahakannya dengan segenap jiwa raganya selama di dalam ketaqwaan pasti akan mencapai keberhasilan.
Kedua, Sabar berarti percaya pada qadla' dan qadar Allah serta selalu berfikir positif. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 156, yang berbunyi :
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya : (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"
Kalimat "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" dalam ayat ini begitu populer bagi muslim dan mudah untuk diucapkan, tetapi amat sangat susah dan karenanya tidak semua muslim bisa benar-benar melaksanakan isi yang dimaksudnya.. Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi dalam kitabnya menyatakan bahwa : “ayat ini menyatakan bahwa kesabaran mereka berdasarkan tauhid mereka yang sungguh-sungguh kepada Allah, mengerti benar-benar bahwa segala yang terkena pada dirinya semata-mata dari Allah yang seharusnya ia rela menerima hukum Allah.
Dari rangkaian firman Allah diatas, jelas sudah cara Islam memahamkan sabar pada umatnya, sebuah konsepsi cara hidup yang progresif, dengan meletakkan akar ketauhidan sebagai landasan untuk meretas kesuksesan hidup. dalam konteks Islam, penyabar bukanlah citra negatif wong jowo yang diperkenalkan sebagai sosok nrimo ing pandum yang todo tolomongso (menerima apapun pembagian yang didapat dengan pasrah tanpa satu usaha yang optimal), tetapi sosok pribadi muslim yang ulet dan pantang menyerah sekaligus memiliki pengharapan yang tinggi pada Allah untuk keberhasilan hidupnya.
Eksistensi pribadi penyabar ada pada kecerdasannya dalam memaknai keberhasilan dan kegagalan hidup dan perjuangannya. Bahwa pribadi penyabar akan menanamkan dalam hati dan fikirannya bahwa keberhasilannya dalam hisup dan kehidupannya adalah jika keridloan Allah ada dalam tiap amal perbuatannya, serta pada sejauh mana dirinya mampu berguna dan memberi manfaat bagi manusia lainnya. Bagi penyabar sejati, amal usaha yang dijalaninya bukan semata untuk mendatangkan kemaslahatan atau kekayaan pribadi dan keluarganya, melainkan juga untuk memberikan jalan bagi sesamanya mencapai kemakmuran hidupnya.
Dengan demikian, semoga kita bisa menjadi sebenar-benar penyabar, yang kemerdekaan serta kebahagiaan hidupnya tidak terkendalikan oleh dunia, yang cita kesuksesan hidupnya tidak semata ada di dunia. Sosok ulet, cerdas dan penuh dedikasi dalam pekerjaannya, yang mampu meletakkan dunia hanya sebagai sarana dan menempatkan ridlo Allah dan kemaslahatan bersama sebagai yang utama. amien.

Taqlid Dalam Islam


Rifqi Ridlo Phahlevy SH. MH.

Taqlid artinya “menurut”, “mengikuti”, dan “meniru”. Dalam istilah ilmu ushul, taqlid ialah menerima pendapat orang tentang hukum agama dengan tidak mengetahui dalilnya dari Al-Qur’an dan/ atau Hadits.
Dengan kata lain, bahwa taqlid itu ialah menurut atau menerima hukum-hukum agama dengan buta-tuli.
Orang yang selalu bertaqlid disebut MUQOLLID.
Bertaqlid hukumnya haram, karena Allah SWT berfirman dalam kitabnya yang berbunyi:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra’ : 36)
Juga firman-Nya dalam An-Nahl ayat 115, yang berbunyi :
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلَالٌ وَهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Artinya:  Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
Serta dalam ketentuan yang tersebut pada Al-Baqoroh ayat 120, yang menyatakan bahwa:
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Artinya :  Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
Dalam firman Allah SWT. di atas terdapat kata-kata “janganlah engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”, itu merupakan larangan bertaqlid. Tiap-tiap larangan pada dasarnya mempunyai hukum haram, jadi artinya haram bagi tiap muslim untuk bertaqlid…!!!
Selain dari yang tersebut diatas, para Imam yang Masyhur, seperti; Imam Syafi’I, Ahmad, Abu Hanifah, Malik dan lain-lainnya yang biasa dijadikan ikutan oleh orang, juga melarang pengikut-pengikut mereka bertaqlid kepadanya.
Berikut petikan perkataan dari beliau-beliau Imam Madzhab tentang bagaimana seharusnya seorang muslim berturut dan berpengetahuan dalam hal Islam dan pengetahuan lainnya : (disarikan dari KITAB AL-QOULUL MUFID : 27)
Artinya : gImam SyafifI berkata; Bilamana telah sah khabaran (Hadits) yang menyalahi Madzhabku, maka turutlah khabaran itu, dan ketahuilah, itulah sebenarnya madzhabku (yang selalu menurut hanya kepada yang benar dan shahih).h
Imam Ahmad juga telah memberikan gTanbihh kepada para umat islam bahwa :
gJanganlah engkau taqlid Agamamu kepada seseorang dari mereka (Para Imam Madzhab/Ulama)h. (dalam KITAB AL-QOULUL-MUFID : 27)
dari keterangan-keterangan tersebut teranglah satu kesimpulan bagi kita bahwa:
1) Taqlid kepada siapapun adalah Haram, termasuk kepada Imam-Imam Madzhab dan Alim Ulama’.
2) Berturut kepada para Imam dan Ulama hanyalah boleh dalam koridor Ittiba’. Dalam artian adalah suatu kewajiban bagi kita para muslim untuk menggali dan mencari kebenaran berdasar firman-Nya dan Hadits Nabi yang shahih, sehingga keturutan kita pada Imam/Ulama tidak hanya berlabel “POKOKE” dan “JARENE”.

Jihad Adalah Gerak Memanusiakan


Oleh Rifqi Ridlo Phahlevy SH. MH.[ii]

Islam yang dibawa Muhammad SAW hadir sebagai rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam), agama cinta kasih yang membawa misi pencerdasan dan pencerahan guna mengangkat harkat, martabat dan derajat manusia kepada posisi asalinya sebagai mahluk Allah yang mulia dan sempurna jasmani maupun rohaninya. Salah satu bukti nyata bahwa Islam adalah agama cinta kasih dapat dilihat dari penghargaan Islam yang begitu tinggi terhadap keberadaan manusia, hingga di dalam Islam diajarkan bahwa satu-satunya cara bagi seseorang mencapai syurga Allah diakhirat kelak adalah dengan cara menjaga harmoni (keselaras-serasian) kebaikan di dalam hablum-minannas dan hablumminallah (hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan Tuhannya).
Konsepsi hablumminannas yang baik dalam Islam mengedepankan pendekatan keselaras-serasian antara hak dan kewajiban sesama manusia, Penghormatan terhadap eksistensi manusia bersifat aktif, diimplementasikan dalam kewajiban yang ditanggungkan kepada seorang muslim untuk menjaga, memelihara dan menguatkan keberadaan manusia dan lingkungan sekitarnya, dalam konteks ini hak azasi seseorang dihormati dan dilindungi keberadaannya selama masih sejalan dengan tatanan agama, nilai moral dan kearifan lokal yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Konsepsi tersebut tentunya berbeda dengan pemahaman HAM dalam masyarakat liberal-kapitalistik yang lebih bersifat pasif karena penghormatan lebih dimaknai sebagai pembiaran dan proteksi bagi hak tiap-tiap anggota masyarakat, dan bersifat individualistik karena penghormatan hak azasi lebih berfokus pada perlindungan hak individual seorang manusia yang tidak boleh ditundukkan kepada apapun juga termasuk oleh kepentingan umum.
Ajaran Islam terkait hablumminannas dalam konteks penghormatan terhadap eksistensi manusia tersebut dapat digali melalui sabda Rasulullah SAW dalam hadits shohih riwayat Imam Muslim berikut :


 Ayat tersebut hendak menegaskan kepada kita tentang tingkatan amal termulia dihadapan Allah, bahwa amalan yang paling tinggi dan mulia dihadapannya adalah berjihad dijalan Allah, yang salah satu bentuk dari jihad tersebut adalah memerdekakan budak atau hamba sahaya, atau bagi mereka yang tidak mampu maka setidaknya mau bekerja membantu saudaranya dari kesulitan, atau selemah-lemahnya amalan jihad itu adalah menjaga diri dari membuat celaka pada sesama. Jihad secara lughowi bermakna bersungguh-sungguh, sehingga oleh jumhur ulama’ jihad memiliki lingkup amalan yang luas dengan berperang mengorbankan jiwa dan harta menghadapi musuh Allah yang hendak menghancurkan Islam sebagai amalan jihad tertinggi dan termulya, dimana Allah menjamin masuk surga tanpa hisab bagi mereka yang mati (syahid) pada saat menunaikannya.
Pernyataan Rasulullah dalam hadits diatas kiranya patut untuk dijadikan rujukan bagi memaknai jihad konteks keindonesiaan, bahwa jihad tidak semata berdimensi hubungan vertical manusia dengan Tuhannya, tapi lebih dari itu bentuk jihad yang utama adalah langkah cerdas dan pengorbanan yang ikhlas bagi kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya. Jihad tertinggi bagi muslim Indonesia kiranya tidak relevan lagi jika dikualifikasikan sebagai peperangan fisik menumpas kafirin dan musyrikin yang berseberangan bahkan terkadang melecehkan ajaran Islam, karena jihad dalam pemahaman konvensional seperti itu tentunya tidak rahmatan lil ‘alamin bagi eksistensi negara dan bangsa Indonesia, serta tidak efektif dan efisien bagi membangun peradaban Islami itu sendiri.
Konteks jihad sebagai gerak pembebasan dan pencerahan ummat atas nama Tuhan yang terkandung dalam hadits tersebut memiliki relevansi yang kuat untuk diaplikasikan kedalam langkah nyata, terutama dalam rangka mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa sebagaimana tujuan awal didirikannya negara ini. Jihad sebagai gerak pencerdasan dapat difahami sebagai usaha untuk memberi pemahaman yang benar dan menyeluruh terhadap masyarakat atas jati-diri dan keberadaannya di lingkungannya, dengan tujuan memberikan pencerahan dan kesadaran diri yang seutuhnya bagi masyarakat atas tugas dan tanggungjawabnya terhadap sesamanya. Kondisi bangsa ini yang terjerembab dalam budaya konsumerisme, hedonisme dan individualism lebih dikarenakan oleh ketidaksadaran masyarakat kita tentang diri dan arti keberadaannya yang sesungguhnya sebagai mahluq sosial sekaligus hamba Allah yang ditugaskan sebagai pemelihara harmoni kehidupan. Gerak pencerdasan harus dilakukan dengan melakukan reformasi dunia pendidikan kita agar berorientasi pada moralitas dalam pengertian bertujuan membangun pribadi yang disamping pintar juga berahlaqul karimah, juga dengan melakukan pembinaan dan pengajaran akan pentingnya eksistensi nilai kearifan lokal kepada masyarakat sebagai benteng bagi mereka dari pengaruh buruk industrialisasi dan modernism.
Jihad sebagai gerak pensejahteraan dapat beranjak dari spirit ajaran rasulullah tentang memerdekakan budak dan mensukseskan usaha sesama kita. Perbudakan ala bangsa Quraisy memang tidak dikenal dalam hazanah kebangsaan kita, oleh karenya makna tuntunan membebaskan budak dalam konteks keindonesiaan tidak selayaknya disamacarakan dengan konsepsi masa jahiliah dulu. Tuntunan membebaskan budak sebagai amal jihad yang mulia dalam konteks kekinian harus difahami sikap islam yang anti penjajahan dan perbudakan, yang di era modern saat ini bisa berbentuk eksploitasi tenaga kerja, imperialisme budaya dan kearifan lokal, monopoli kuasa dan ekonomi dan selainnya. Ajaran Rasulullah SAW diera modern ini harus dimaknai sebagai tuntunan kepada kita untuk menjadi kader pembela dan penegak nilai kemanusiaan, untuk kemudian disikapi secara bijak dengan langkah konkret dalam kehidupan bermasyarakat, salah satu bentuknya adalah advokasi terhadap kaum buruh dan petani. Advokasi terhadap buruh bukan diarahkan untuk menjadikan buruh menang atas majikannya, tetapi untuk meletakkan mereka dalam posisi yang setara dengan pelaku pasar lainnya, dengan harapan dapat menghindarkan mereka dari eksploitasi pasar, sedangkan terhadap kaum petani langkah advokasi dilakukan guna meningkatkan pendapatan dan mempertinggi kualitas hidup para petani.
Jihad dalam makna pencerahan dan pensejahteraan dapat dilaksanakan siapapun dalam kedudukan dan kapasitasnya masing-masing, karena pada asasnya kewajiban untuk berjihad ada pada tiap diri yang mengakui beriman pada Allah. terkait dengan kesejahteraan buruh dan petani tersebut, maka agar jadi sejahtera seorang petani dan buruh harus berjihad dengan jalan bekerja seoptimal mungkin, seorang guru berjihad dengan ilmunya membekali muridnya dengan skill yang memadahi, dan jihad bagi pemerintah adalah dengan menetapkan regulasi yang adil bagi semua pihak dan mampu menjadi penengah sekaligus pembela bagi kepentingan rakyatnya yang tertindas. Semua lapisan dalam kapasitasnya dapat berperan, tapi satu yang harus diingat, bahwa kesuksesan dari satu perjuangan ditentukan dari adanya gerak yang sinergis, sistemis dan sistematis dari semua elemen perjuangan, dalam hal ini mengentaskan kemiskinan, mensejahterakan buruh dan petani tidak akan dapat terwujud manakala tidak ada kesatuan tekad dan usaha dari setiap elemen bangsa, karena sahabat Ali bin Abi Thalib pernah berkata, bahwa“langkah kebaikan yang tidak terorganisir akan mudah dikalahkan dengan kejahatan yang terorganisir dengan baik”.




[ii] Pengurus NIC Nurul Azhar Ngoro dan Dosen tetap di STIT Muhammadiyah Mojosari, serta mengajar dibeberapa institusi lain.

Jumat, 11 Maret 2011

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA


Indonesia sebagai suatu negara telah menegaskan dirinya dalam konstitusi negara sebagai sebuah Negara kesatuan yang berbentuk republik, konsekwensi dari diambilnya konsepsi tersebut adalah pengakuan sekaligus penataan dirinya sebagai sebuah negara kesatuan (eenheidsstaat) sekaligus juga sebagai sebuah negara hukum (rechtsstaat). Negara Kesatuan mengacu pada konsep negara yang tata pemerintahannya dikelola satu sistem pemerintahan secara hierarkhis tanpa mengenal adanya negara dalam negara. Adapun konsep negara hukum merujuk pada satu bentuk penyelenggaraan kekuasaan negara yang didasarkan pada dasar konstitusional dan tertib hukum dengan menempatkan hukum sebagai satu-satunya koridor penyelenggaraan kekuasaan dan kepentingan dalam kehidupan bernegara.

Pemahaman bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik itulah yang mendasari penataan dan pelaksanaan sistem desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan konsep otonomi daerah selama ini. Adanya konsep otonomi daerah sebagai sebuah proses pemencaran kekuasaan dari pemerintah pusat kepada wilayah dan/atau daerah-daerah yang lebih kecil adalah konsekwensi logis dari pelaksanaan konsep negara hukum yang demokratis dalam sebuah negara yang tidak mengenal adanya negara bagian. Pemencaran kekuasaan tersebut pada prinsipnya adalah cara bagi sebuah negara untuk meminimalisir penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh pusat, yang dapat berujung pada munculnya kekuasaan negara absolut.

Pengkajian terhadap sistem otonomi daerah di suatu negara hanya dapat dilaksanakan dengan benar dan komprehensif jika dilandasi oleh pemahaman yang benar dan lurus terhadap pilihan konsep negara yang dianut oleh negara tersebut. Untuk itu kajian atas bentuk negara kesatuan dan konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia berikut kiranya bermanfaat sebagai pintu untuk memahami dasar pilihan diterapkannya desentralisasi (otonomi daerah) di Indonesia.

1. Negara Kesatuan Indonesia.
Konsep negara kesatuan adalah konsep bentuk negara paling tua dalam sejarah kenegaraan, karena sampai dengan abad pertengahan hanya dikenal bentuk negara kesatuan sebagai satu-satunya bentuk negara, adapun federasi sebagai padanan bentuk negara baru ada dan baru dikenal sejak lahirnya Amerika serikat sebagai satu negara merdeka.1


Konsep negara kesatuan merujuk pada bentuk negara yang hanya mengenal satu kedaulatan, berasal dari rakyat dan berada di tangan negara (kedaulatan berada pada tangan pusat), dengan tidak mengenal adanya negara-negara bagian yang berdaulat. Penajaman makna dapat dilakukan dengan pembandingan dengan konsep negara federal dengan menggunakan rumus negatif, yakni apa yang menjadi ciri negara federal adalah negasi dari bentuk negara kesatuan.

Konsep negara kesatuan yang pada pada awalnya memberi andil atas lahirnya pemerintahan negara yang totaliter dan otoritarian, dalam perkembangannya seiring dengan tuntutan demokratisasi yang mengharuskan adanya pembagian kekuasaan negara, maka lahirlah ide unitarisme yang terdesentralisasikan, sebagaimana kita kenal sekarang dengan istilah otonomi daerah.

Konteks ke-Indonesiaan, Pilihan bentuk negara kesatuan sebagaimana terdapat dalam Bab I UUD 1945, merupakan hasil permufakatan para pendiri bangsa ini pada saat awal perumusan negara dan juga konstitusi negara. Ada beberapa alasan yang disampaikan terkait dipakainya konsep negara kesatuan, sebagaimana apa yang disampaikan oleh M. Yamin dimuka sidang BPUPKI berikut ;

Negara serikat tidaklah kuat, tidak berwarna dan djuga tidak dapat didjamin kekuatan atau keteguhannja didalam kegontjangan zaman sekarang dan untuk zaman damai ... apabila negara hendak dibentuk diseluruh tanah Indonesia setjara negara serikat, maka dengan sendirinja federalisme jang boleh timbul oleh karena pembentukan negara serikat itu ... pulau-pulau lain akan kekurangan kaum terpeladjar, dan negara federalistis tidaklah dapat dibentuk, karena tenaga untuk itu tidak ada....2

Dari nukilan pidato tersebut, dapat difahami bahwa berdasar pertimbangan historis, filosofis dan faktual negara Indonesia tidak memungkinkan untuk dibentuk dengan berdasar pada faham federalistik. Disamping juga besarnya desakan dari angkatan muda saat itu untuk mengesampingkan federalisme dan membentuk satu eenheidsstaat.

Konsep Negara kesatuan Indonesia sendiri dapat digali dari UUD 1945 yang kendati telah diamandemen beberapa kali tetapi tetap teguh, dan bahkan semakin memperteguh konsepsi Indonesia sebagai satu eenheidsstaat, sebagaimana ketentuan dalam Bab XVI tentang Perubahan Undang-undang Dasar, Pasal 37 ayat (5) bahwa “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia Tidak Dapat Dilakukan Perubahan”.

Merujuk pada sejarah perumusan UUD 1945, maka konsep negara kesatuan Indonesia sejatinya lahir sejak sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang juga merupakan hari lahirnya Bangsa Indonesia, sehingga unitarisme itu merupakan falsafah hidup bangsa.

Muhammad Yamin memaknai konsepsi negara kesatuan secara lebih luas dan mendalam sebagai kesatuan bangsa, kesatuan tanah air dan kesatuan negara, yang berarti penolakan terhadap faham federalisme yang bernegara bagian, dengan mengingati pula bahwa dalam unitarisme itu dijalankan sebuah bentuk pemerintahan demokratis dan berkeadilan, yang dijelmakan dengan adanya pembagian kekuasaan baik yang bersifat vertikal (otonomi daerah) maupun horisontal.3

Pandangan M Yamin tersebut secara konstitusional selaras dengan ide dasar pembagian kekuasaan secara vertikal yang termuat dalam ketentuan dalam Bab VI, Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa: 

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Pernyataan “…dalam sistem pemerintahan negara”, menunjukkan bahwa di Indonesia hanya dikenal satu sistem pemerintahan negara yang berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan itu artinya tidak ada istilah negara lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemahaman tersebut sejalan dengan Penjelasan Pasal 18 tersebut, bahwa “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga”.

2. Negara Hukum Indonesia.
Sebelum membahas bagaimana konsep negara hukum Indonesia, baiknya kita lihat dahulu konsepsi negara hukum itu sendiri. Konsep Negara hukum secara historis beranjak dari pemikiran Plato pada masa Yunani kuno, yakni dalam karyanya yang berjudul Nomoi. Plato berpandangan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tersebut dikuatkan oleh Aristoteles dalam karyanya berjudul Politica, bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yakni :

“…pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.” 4

Substansi utama dari konsep negara hukum adalah bahwa sebuah negara dan sistem pemerintahan negara haruslah dijalankan dengan berlandaskan pada hukum yang berkedaulatan rakyat, dan oleh karenanya maka penggunaan kekuasaan oleh pemerintah tidak boleh melampaui, menyalahi dan bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Perkembangan konsepsi negara hukum memunculkan dua arus utama pemikiran dengan berafiliasi pada dua madzhab hukum utama, yakni; Pertama. Madzhab hukum Anglo Saxon atau common law system dengan konsepsi The Rule Of Law. Kedua, budaya hukum Eropa kontinental atau civil law system dengan konsep Rechtsstaat. Sebagai negara yang lama dalam penjajahan belanda, maka konsep negara hukum, demokrasi dan sistem hukum Indonesia lebih cenderung mengacu pada konsep civil law system. Namun, perlu diingat bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah titik dimana negara ini menolak sistem hukum kolonial dan memproklamirkan bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem hukumnya sendiri, yakni sistem hukum Pancasila.

3. Konsep Negara Hukum Pancasila.
Istilah Negara Hukum Pancasila lahir dan digunakan untuk memberi penegasan bahwa landasan ideologis dan falsafati dibentuknya NHI (Negara Hukum Indonesia) adalah nilai luhur pancasila yang telah ditempatkan sebagai satu dasar negara (Philosophische Grondslag), sebagaimana tersebut dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, kuat dan tetap serta tidak dapat diubah dengan cara apapun, berkedudukan sebagai landasan bagi menetapkan tata hukum dan pemerintahan di indonesia.5

Kendatipun bekas jajahan Belanda dan pernah menjalankan hukum kolonial, namun tidak serta merta dapat dikatakan bahwa konsep negara hukumnya identik Belanda, karena secara historis dan filosofis kelahiran Indonesia berbeda dengan Belanda. Karena Indonesia sebagai sebuah negara sejak lahir sudah anti penindasan dan kesewenangan.6

Dengan mengkaji konteks historical-philosophic yang meliputi keberadaan Indonesia merdeka, Negara Hukum Pancasila sebagai konsep yang khas Indonesia dan berbeda dari konsepsi lain baik itu rechtsstaat maupun the rule of law, menurut Philipus M. Hadjon7 memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar, yakni diantaranya :
  1. Jika dalam konsep rule of law dan rechtsstaat menempatkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai titik sentralnya, maka bagi bangsa Indonesia yang tidak menghendaki faham liberal-individualistic, titik sentral dari Negara Hukum Pancasila adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan (kekeluargaan/gotong royong).
  2. Jika dalam rangka perlindungan HAM konsep rule of law mengedepankan prinsip “equality before the law”, dan prinsip “rechtmatigheid” untuk rechtsstaat, maka konsep pancasila mengedepankan “asas kerukunan” untuk menjaga keserasian serta keselarasan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya, dimana dari asas tersebut diharapkan nantinya terjalin hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.
  3. Konsep Pancasila lebih mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam tiap penyelesaian sengketa, dengan meletakkan penyelesaian melalui jalur peradilan sebagai langkah terakhir.
Negara hukum pancasila dalam pandangan Soepomo merupakan aktualisasi dari cita negara Integralistik, yang terdiri unsur-unsur sebagai karakteristik dari konsep bernegara pancasila, yakni; pertama, kesatu paduan antar elemen kenegaraan untuk mencapai (keseimbangan hidup) lahir dan batin (asas kerukunan); kedua, tidak diterimanya faham pemisahan antara negara (pemerintah) dan individu (rakyat), dan antar kekuasaan pemerintahan; ketiga, pemerintahan tidak dijalankan secara sentralistik dan otoriter; keempat, kedaulatan adalah ditangan rakyat, dalam artian sistem hukum dan konstitusi haruslah timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya; kelima, negara berkewajiban mengurus dan mengusahakan terwujudnya apa yang menjadi cita-cita luhur rakyat; keenam, pengakuan dan penghormatan terhadap keberagaman suku bangsa, ras dan bahasa, dimana tata pemerintahan dibangun diatas integrasi (harmoni) keberagaman dan atas dasar kekhasan dan keaslian indonesia sebagai sebuah bangsa.8

Moh. Hatta dalam pidatonya secara tersirat menggambarkan cita negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep negara pengurus, yakni:

memang kita harus menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama … Akan tetapi kita mendirikan negara yang baru. hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita buat jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan kepada gotong royong, usaha bersama, tujuan kita adalah membarui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan diatas negara baru suatu negara kekuasaan….kedaulatan rakyat yang kita temui di dalam majelis permusyawaratan rakyat dan penyerahan kekuasaan kepada presiden, ialah presiden jangan sanggup menimbulkan suatu negara kekuasaan…ada baiknya jaminan diberikan kepada rakyat hak merdeka berpikir.9

Pandangan Moh. Hatta tersebut menitik beratkan pada perlunya jaminan terhadap penegakan dan penghormatan Hak-hak dasar warga negara, yang harus dengan jelas dicantumkan secara tertulis dan pada ruang tersendiri dalam Konstitusi negara, dimana pencantuman Hak-hak dasar tersebut nantinya diharapkan akan menjadi landasan bagi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak kesewenang-wenangan penguasa yang dimungkinkan hadir.

Philipus M. Hadjon dalam desertasinya menjelaskan bahwa Negara Hukum Pancasila secara elementer berpegang pada beberapa prinsip dasar sebagai berikut :
  1. Hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan. Asas kerukunan adalah perwujudan dari jiwa dan spirit kebangsaan Indonesia yang dibangun diatas kebersamaan (komunalisme) bukan individualisme, yang menonjolkan budaya gotong royong dan kekeluargaan diantara elemen kebangsaan, sehingga yang hendak dicapai dari adanya demokrasi dan negara berdasar hukum adalah keserasian/ keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat.
  2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara. Jalannya kekuasaan negara tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan yang bersifat rigid dan tegas, namun lebih sebagai bentuk pembagian kekuasaan, sehingga antara kekuasaanyang satu dengan kekuasaan lain dalam praktek pemerintahan terjalin suatu hubungan fungsional yang proporsional dan selaras. Prinsip ini secara mendasar tidak memerlukan sistem check and balances, karena dengan pola hubungan yang fungsional proporsional tersebut, setiap proses berpemerintahan dan berkebijakan akan senantiasa melalui mekanisme permusyawaratan sebagai mekanisme asli bangsa Indonesia.
  3. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Pemahaman ini beranjak pada asas kerukunan yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan, dimana permusyawaratan adalah cara bangsa Indonesia untuk menyelesaikan masalahnya.
  4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pola pandang bangsa yang komunalistik menjadikan bangsa Indonesia lebih mendahulukan untuk terlaksananya kewajiban dari pada hak.10
4. Demokrasi dan Good Governance.
Menyimak bahasan diatas, dapat dilihat bahwa antara demokrasi dan negara hukum memiliki keterkaitan yang erat, karena disatu sisi konsep negara hukum diadakan dan dijalankan dalam rangka menjamin adanya tata pemerintahan demokratis di suatu negara, disisi lain sebuah negara hukum mendasarkan dirinya dan tata sistemiknya pada asas-asas dan prinsi-prinsip demokrasi guna menjamin legitimasinya.

Demokrasi yang didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat sesungguhnya bermuara pada usaha untuk menciptakan tata pemerintahan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dengan mengedepankan perlunya partisipasi sebesar mungkin warga dalam proses kepemerintahan negara sebagai bentuk dari kedaulatan rakyat,11 adalah sebuah konsep yang dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman dan letak dimana demokrasi itu hendak dipraktekkan.

J.B.J.M Ten berge secara umum mengemukakan prinsip-prinsip dasar demokrasi sebagai berikut :
  1. Perwakilan politik. Keputusan politik tertinggi diputuskan oleh badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan umum.
  2. Pertanggungjawaban politik. Organ pemerintahan dalam menjalankan fungsinya bertanggungjawab kepada lembaga perwakilan.
  3. Pemencaran kewenangan guna mengantisipasi agar tidak adanya diktatorial.
  4. Pengawasan dan kontrol. Prinsip bahwa pelaksanaan pemerintahan harus dapat dikontrol.
  5. Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum.
  6. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.12
Sepakat dengan Ten Berge, Konijnenbelt menambahkan perlunya bagi setiap keputusan untuk melindungi hak dan kepentingan minoritas serta harus seminimal mungkin menghindari ketidak benaran dan kekeliruan.13

Sebagai sebuah negara hukum demokratis, Indonesia memiliki konsepsi demokrasinya sendiri yang khas, yakni sebuah sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat, dengan mengingati bahwa kerakyatan itu dipimpin dan dijalankan oleh dan atas dasar hikmah kebijaksanaan dalam sebuah permusyawaratan perwakilan. Sebuah demokrasi yang bersumber pada nilai luhur Pancasila yang mengedepankan harmoni dan keselaras-serasian hubungan antara penguasa dan rakyat, keseimbangan antara kewajiban dan hak.

Demokrasi pancasila yang bersifat komunalistik pada asalnya lahir sebagai bentuk dari peningkatan demokrasi adat, yakni mengadopsi cara dan tatanan demokrasi yang tersebar dalam praktek kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Secara mendasar prinsip-prinsip demokrasi pancasila sama dengan prinsip-prinsip umum demokrasi diatas, namun satu yang perlu dicatat bahwa sifat komunal dari demokrasi pancasila ada pada konsepsi adat dan permusyawaratan sebagai mekanisme perlindungan HAM dan pengejawantahan kedaulatan rakyat.14

Kendati secara asali demokrasi Pancasila bersumber dari adat dan kearifan lokal bangsa, dalam perkembangan selanjutnya ide demokrasi Pancasila menyelaraskan dirinya dengan perkembangan wacana HAM dan good governance (GG). Hal ini tercermin dari Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, diantaranya dengan perubahan serta penambahan beberapa ketentuan dalam pasal 18, serta dimasukkannya prinsip-prinsip HAM kedalam satu bab khusus (BAB XA), sehingga memberi penegasan bahwa demokrasi indonesia tidaklah alergi terhadap istilah HAM beserta issue turunannya.

Kelahiran konsep GG yang dibidani oleh UNDP pada intinya menuntut adanya kesetaraan kedudukan dan kesaling terhubungan (integration) antara pemerintah (state), pasar (private sector) dan masyarakat (society). Dalam konteks Indonesia, GG lahir seiring dengan tuntutan perbaikan kualitas pelayanan publik, sistem peradilan yang dapat diandalkan serta tuntutan transparansi dalam pelaksanaan kekuasaan negara.15 Good governance sendiri mengandung pengertian suatu mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya dan memecahkan masalah-masalah publik dengan melibatkan stake holder secara aktif dan setara, serta memiliki unsur-unsur akuntabilitas, partisipasi, predictability dan transparansi dalanm pelaksanaannya.16

Menurut UNDP ada 8 (delapan) prinsip utama yang menyusun dan mendasari pelaksanaan Good Governance, yakni :
  1. Partisipasi;
  2. Transparansi;
  3. Akuntabel;
  4. Efektif dan efisien;
  5. Kepastian Hukum;
  6. Responsif;
  7. Konsensus;
  8. Setara dan inklusif.17
Prinsip-prinsip tersebut diadopsi dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Pasal 3 sebagai Asas-asas umum penyelenggaraan negara, yakni :
  1. Asas Kepastian Hukum. Yakni mengutamakan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara;
  2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
  3. Asas Kepentingan Umum. Yakni harus mendahulukan kesejahteraan umum dengancara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
  4. Asas Keterbukaan. Yakni keharusan membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara;
  5. Asas Proporsionalitas. Yakni mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara;
  6. Asas Profesionalitas; Yakni mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  7. Asas Akuntabilitas. Yakni menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlak.
Tujuh prinsip tersebut kemudian diaku serta dimasukkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 20, dengan ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas, berfungsi sebagai landasan asasi bagi penyelenggaraan tata pemerintahan daerah di Indonesia.

Dimasukkannya prinsip-prinsip tersebut dalam UU No. 32 tahun 2004, bermakna bahwa ukuran keberhasilan dan kebaikan dari tata kepemerintahan daerah di Indonesia adalah jika tata laksana kepemerintahan di daerah tersebut selaras dan serasi dengan asas-asas tersebut, termasuk didalamnya pelaksanaan kepemerintahan di desa.

1Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik, Mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokrasi, Fokusmedia, Bandung, 2007, hal. 58-59.
2Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 1945, hal. 236-238
3H. Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Tjipanas, 1960, hal. 286-288.
4 Ridwan H.R., HUKUM ADMINISTRASI NEGARA, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2007, hal. 2.
5HAM Effendy, Falsafah Negara Pancasila (sejarah, fungsi, pengamalan dan pelestariannya), Cet. ketiga, Duta Grafika, Semarang, 1993, hal. 37.
6Philipus M. Hadjon, 1987, Op.Cit, hal. 84.
7 Ibid, hal. 84-85.
8 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959. hal.110-115.
9 Ibid, hal. 299-300.
10 Philipus M. Hadjon, Op.cit, hal. 85-90.
11Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi (proses dan prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah), Alih bahasa: I Made Krisna, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 15.
12Ridwan H.R., 2007, Op. Cit, hal. 10.
13Ibid, hal. 13.
14 Hazairin, DEMOKRASI Pancasila, (cetakan kelima), Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 41.
15AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko, Ed., Membangun Good Governance Di Desa, IRE Press, Yogakarta, 2003, hal. 18.
16Hetifah Sj Sumarto, Inofasi, Partisipasi dan Good Governance (20 Prakarsa Inovatif dan partisipatif di Indonesia), Edisi 2, Yayasan Obor Indonesia, 2004, hal. 17.
17Agus Dwiyanto, Ed., Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 82.