Senin, 06 Juni 2011

EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN (1)

Kunci maju mundur peradaban suatu masyarakat bergantung pada tingkat kepahaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan memegang kunci penting bagi pembangunan sebuah peradaban, karena bangunan peradaban terdiri atas kesatuan social budaya dan structural (sobural) masyarakat serta penguasaan teknologi. Elemen social budaya memegang peranan sebagai dasar dan sandaran etika, structural berkaitan dengan peran dan fungsi serta tata kemasyarakatan, dan elemen teknologi berkaitan dengan kemampuan berdasar keunggulan komparatif yang dimiliki untuk mengolah sumberdaya yang dimiliki masyarakat bagi keterpenuhan kebutuhan hidup (kemakmuran) meraka. Semakin marak penelitian dilakukan dan ragam disiplin ilmu dihasilkan menandakan semakin tinggi derajad keberadaban sebuah masyarakat.
Namun yang juga perlu untuk diperhatikan dari pengembangan keilmuan adalah interaksinya dengan etika dan struktur kehidapan masyarakat itu, apakah memiliki keselaras-serasian ataukah membawa pertentangan dan peniadaan satu-sama lain, karena ketidak selarasan ilmu pengetahuan dengan etika malah akan melemparkan suatu masyarakat pada jurang kenistaan dan kehancuran. Contoh yang dapat dikedepankan dari itu semua adalah kasus bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, penggunaan senjata biologis dan kimia serta senjata pemusnah massal lainnya, dalam drama peperangan antar umat manusia, limbah beracun dan pencemaran yang diakibatkan indutrialisasi, atupun polusi yang diakibatkan radiasi nuklir yang berasal dari reaktor nuklir, serta akumulasi molekul CO2 di atmosfer yang kemudian menyebabkan pemanasan global melalui efek rumah kaca, merupakan sebagian dari berbagai dampak negatif yang harus dipikul oleh umat manusia sebagai akbat perkembangan ilmu pengetahuan dan pemanfaatan teknologi.
Para ilmuwan biasanya berlindung terhadap kritik dari luar terhadap ilmu pengetahuan yang berdasarkan penggunaan ilmu pengetahuan menjadi senjata pemusnah dengan mengatakan ilmu pengetahuan itu netral, begitu juga teknologi yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan. Teknologi itu bagaikan pisau: di tangan pembunuh dia menjadi senjata yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi penyelamat manusia. Begitu juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa digunakan untuk penghancur, namun dia bisa digunakan untuk sumber energi pengganti teknologi energi yang menggunakan bahan bakar fosil. Keterkaitan etika dan struktur dengan tujuan dari manusia berilmu tersebut akan dikaji lebih mendalam pada bahasan selanjutnya. Sebelumnya kami sajikan dasar epistemology pencarian kebenaran ilmiah.
Pembahasan tentang Ilmu Pengetahuan dalam konteks filsafati termasuk kajian epistemologi, yakni terkait dengan bagaimanakah (cara) suatu pengetahuan itu disusun. Sebagaimana pernah diungkapkan sebelumnya bahwa permasalahan epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004).
Proses terjadinya pengetahuan memerlukan alat yaitu: pengalaman indera (sense experience), nalar (reason), otoritas (authority) intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan (faith). Pengetahuan didapat melalui proses pengamatan, karena segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi. Gambaran-gambaran itu kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan yang lebih tinggi yaitu yang bersifat rasional dan bersifat intuitif. Dalam pengetahuan rasional orang hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan dari pengalaman yang dia amati, tetapi dalam pengetahuan intuitif orang memandang kepada idea-idea yang berkaitan dengan Allah. Obyek pengetahuan itu sendiri adalah gagasan-gagasan atau idea-idea yang timbulnya karena pengalaman lahiriyah (sensation) dan karena pengalaman bathiniah (reflection). Pengalaman lahiriyah mengajarkan kita tentang hal-hal diluar kita, sedangkan pengalaman bathiniah mengajarkan tentang keadaan-keadaan psikis kita sendiri.

Teori Kebenaran.

Teori kebenaran adalah teori yang berkisar tentang cara atau metode pembuktian faliditas suatu data atau proposisi. Pada umumnya ada beberapa teori kebenaran yang diakui dan umum digunakan dalam dunia akademis (keilmuan), yakni : teori kebenaran saling berhubungan (coherence theory of truth), teori kebenaran saling berkesucian (correspondence theory of truth), dan teori kebenaran inherensi (inherent theory of truth).
Teori kebenaran saling berhubungan (coherence theory of truth), adalah teori yang menyatakan bahwa suatu proposisi itu benar apabila hal tersebut mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada yang sebelumnya telah dianggap benar. Dengan kata lain, yaitu apabila proposisi itu mempunyai hubungan dengan proposisi yang terdahulu yang benar. Pembuktian teori kebenaran ini dapat ditelusuri melalui pembuktian sejarah dan logika. Pembuktian sejarah dilakukan atas sesuatu yang merupakan proposisi sejarah. Adapun pembuktian logika dilakukan atas suatu pernyataan-pernyataan yang bersifat logic.
Teori kebenaran saling berkesucian (correspondence theory of truth), adalah teori yang menyatakan bahwa suatu proposisi itu bernilai benar apabila proposisi itu saling berkesesuaian dengan fakta yang senyatanya (realitas yang terhampar), dalam pengertian bahwa apa yang dinyatakan melalui suatu proposisi dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan. Teori korespondensi ini sering dianut oleh realisme/empirisme, yang memang menitik beratkan nilai kebenarannya pada apa yang tampak dan teraktualisasi oleh panca inderanya. K. Rogers, salah seorang penganut realisme kritis Amerika, berpendapat bahwa : keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara "esensi atau arti yang kita berikan" dengan "esensi yang terdapat didalam obyeknya".
Teori kebenaran inherensi (inherent theory of truth), sebagai teori kebenaran ketiga sering disebut juga dengan teori kebenaran pragmatis, yakni teori yang berpandangan bahwa suatu proposisi memiliki nilai kebenaran apabila memiliki akibat atau konsekwensi-konsekwensi yang bermanfaat, maksudnya ialah hal tersebut dapat dipergunakan. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, jika membawa akibat yang memuaskan, dan jika berlaku dalam praktik, serta memiliki niali praktis, maka dapat dinyatakan benar dan memiliki nilai kebenaran. Kebenaran terbukti oleh kegunannya, dan akibat-akibat praktisnya. Sehingga kebenaran dinyatakan sebagai segala sesuatu yang berlaku.
Disamping tiga arus besar teori kebenaran tersebut, masih ada teori kebenaran falsifikasi, yakni suatu teori yang menyatakan bahwa suatu proposisi dan/atau kebenaran itu bernilai benar sepanjang tidak ada proposisi dan/atau kebenaran baru yang hadir melawan (menyangkal) kebenaran yang ada padanya.