Sabtu, 09 April 2011

Conditio Sine Quanon

oleh Rifqi Phahlevy pada 27 Oktober 2010 jam 19:53

Globalisasi membawa efek yang begitu luar biasa bagi setiap jiwa manusia yang hidup di alamnya saat ini, baik itu berupa ekstrimitas kanan yang bertemakan pembelaan dan penghambaan pada faham liberalisme dan modernisme, maupun juga berupa ekstrimitas kiri dalam bentuk counter wacana hingga gerakan perlawanan bersenjata. namun, yang menarik dalam pikiran saya adalah diferensiasi pola pandang yang saling berlawanan tersebut ternyata dalam satu konteks memiliki wajah yang amat sangat tidak berbeda, yakni sebagaimana apa yang diistilahkan oleh marcuse sebagai one dimentional man, dan bahkan mungkin pemikiran saya ini nantinya akan berada juga dalam bentuk kontekstualitas yang sama. Anda boleh tidak setuju dengan pandangan saya tersebut, karena mungkin anda secara cerdas akan beralasan bahwa anda memiliki frame berfikir yang unik dan berbeda dengan teman maupun orang disekitar anda, namun cobalah kita bertanya kepada diri kita ini, apakah mungkin fikiran kita bisa berbeda atau pun pernah secara adil mempersepsikan orang bodoh sebagai sosok yang setara dengan orang cerdas? Ah terlalu rumit mungkin untuk diperdebatkan …

Pertanyaan yang lebih simple mungkin adalah apakah kita saat ini masih bisa menerima kalau jarak perjalanan 2km yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki itu adalah jarak yang dekat? Pertanyaan seperti ini dalam konteks dunia saat ini akan terasa aneh dan konyol untuk dijawab, karena kita sudah terbiasa untuk mempersepsikan hal itu dalam satu konteks yang tidak “boleh” berbeda, padahal kalau saja kita mau ke pelosok desa yang disana gender belum diperdebatkan dan Mercedes benz sebagai sumber penghormatan masih kalah pamor dibanding dengan sebidang tanah garapan, maka kita akan mendapati jawaban yang berbeda dan tak lazim lagi bagi kita dan konteks dunia global. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pikiran anda dan saya sekarang sama untuk memaklumkan hal tersebut sebagai responsifitas “wong ndeso” dengan atribut keluguan dan kekolotan berfikirnya? Kalau sama, maka sesungguhnya dalam perspektif saya kita ini secara tidak sadar telah tidak bersikap adil kepada mereka.

Ada satu permasalahan lagi yang cukup menggugah untuk saya pertanyakan kepada anda yang merasa terpelajar dan atau terdidik. Yakni apakah saat ini kita masih bisa berbeda untuk menetapkan standard keilmiahan pemikiran dan karya tulis kita? Dalam keyakinan yang penuh saya merasa kita tidak akan pernah berbeda, karena struktur nalar kita akan berkata bahwa apa yang kita bicarakan baru akan bernilai ilmiah jika banyak citasi didalamnya, serta kita akan menjadi orang yang cerdas dan filsuf sejati manakala dari karya-karya yang kita buat itu, semua orang yang membacanya menjadi kebingungan atau minimal sulit faham karena tingginya bahasa tulisan tersebut (mungkin juga karena penulisnya juga dalam kebingungan)? Ah kita sama kok….

Tulisan ini nantinya ingin mencoba mengajak kita untuk berfikir kembali tentang siapa diri kita, siapa dan apa yang layak untuk kita bela, akan tetapi perlu kiranya untuk terlebih dahulu harus kita ketahui kenapa banyak hal sebagaimana diatas dapat berlangsung. Namun tentunya, karena saya sendiri ingin dihargai sebagai diri saya yang seutuhnya, maka saya pun akan memberi penghargaan pada anda atas kemerdekaan anda untuk berjalan sesuai dengan alm dan kesadaran reflektif anda, bukan kita! Karen dalam faham saya kita boleh bersama sadar, tapi bukanlah satu yang harus jika kesadaran saya dan anda dalam bingkai “kita” itu menjadi wajib sama, karena diriku dan dirimu tidak akan pernah satu. Bukan begitu tuan-tuan… ?

Baiklah saya mulai dengan berfikir apa dan mengapa saat ini sulit untuk menikmati pelangi (istilahku untuk mencitrakan eksistensi keragaman kita)? Banyak alibi yang dapat disematkan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, dalam dua arus besar pemikiran dunia pun akan ditemui bahwa, dari fihak golongan kiri akan coba mengemukakan faktor utama dajjalisasi perspektif manusia kini adalah ulah pasar dan kaum kapitalis yang berkehendak untuk mengomando dunia dalam satu gerbong modernisme dan universalitas nilai kemanusiaan dalam apa yang kita kenal sebagai arus globalisasi atau liberalisme. Sedangkan difihak lain, golongan kanan akan dengan lantang menyatakan bahwa semua yang terjadi adalah ulah kaum kiri yang secara kasar memaksakan pandangan sosialisme kepada setiap penduduk yang berada dalam kekuasaannya. Satu hal yang menarik untuk dianalisis dari kemungkinan tersebut adalah bukankah saat ini kedua ideology tersebut memang hidup dan bersaing dalam satu tempus yang sama? Jadi, masihkah layak bagi kedua kubu dan pendukungnya untuk saling menyalahkan? Karena dengan pembelaan apapun yang hendak dikemukakan, bukankah suatu kenyataan bahwa terkotaknya manusia hanya pada beberapa pola pandang atas dunia ini merupakan andil besar dari “kampanye pembenaran” kedua kubu tersebut.

Setuju atau tidak dengan logika saya, saya dalam hal ini melepaskan diri dari usaha untuk menjadikan agama sebagai terdakwa yang patut untuk juga diposisikan setara dengan semisal kedua arus besar dunia tersebut. Kenapa demikian, karena dalam logika saya, agama dan mungkin juga aliran kepercayaan yang difahami secara umum sebagi agama eksistensi yang berbeda dengan ideologi-ideologi yang ada, karena bukankah memang mereka bukan ideology melainkan theology, dan dalam paham saya bahwa keberagamaan merupakan manifestasi dari rasa (kepercayaan atau iman), tanpa adanya sebuah embel-embel paksaan di dalamnya (dalam agama saya dikonsepsikan sebagai “lakum diinukum waliyadiin”). Agama bukanlah satu hal yang “terpaksa” untuk dipilih sebagaimana sosialisme dan kapitalisme dikembangkan, karena dalam beragamapun kita pemeluknya juga dibebaskan untuk memilih eksistensinya. Berbeda bukan dengan apa yang kita lihat dari dua ideology dunia tersebut? Karena kendatipun kapitalisme menawarkan liberalisme sebagai jalan hidup, bukankah kebebasan itulah ajaran yang memang dipaksakan untuk dianut? Dan bukankah pula dari kemerdekaan semu itu “tambang emas mereka”?

Telah terjawab bukan apa yang jadi penyebab kerdilnya kita? nah, mengapa apa yang menjadi penyebab itu benar-benar telah sukses membunuh kemerdekaan kita kiranya tidak terlalu sulit untuk dicari jawabnya. Anda pernah membaca literature tentang teori kekuasaan? Ah lupakan, mari sekarang kita bayangkan kekuasaan itu dan apa yang menyebabkan dan apa pula yang dapat diperbuatnya. Sudah? Apakah akan sama lagi apa yang menjadi bayangan anda dengan saya kini, bahwa kekuasaan dapat diperoleh dari kelebihan alamiah manusia (bisa dari harta kekayaan, keturunan, kekuatan fisik dan kecerdasan) dan rekayasa sosial (media masa dan kekuatan masa), sementara apa yang dapat diperbuat oleh dan dengannya tidak dapat dipastikan batasannya, termasuk apa yang terjadi dengan kita dalam konteks bahasan ini mungkin juga dikarenakan oleh kekuasaan itu.

Kembali pada “mengapa” tadi, maka secara logis dapat dilihat bahwa setiap ideology sebagaimana dua ideology terbesar dunia tersebut dimuka senantiasa beranjak dari kekuasaan dan ada untuk menjaga eksistensi kekuasaan tersebut bukan? Sehingga untuk menjawab mengapa sampai mereka berkuasa logika dasar kekuasaan dimuka dapat diangkat disini, bahwa kekuasaan mereka dapat diperoleh melalui kekuatan masa (contoh perjuangan kelas dalam konsepsi sosialis), penguasaan modal dan pasar kesejahteraan sebagaimana kapitalisme dijayakan dan satu hal yang utama adalah melalui media massa. Media massa memegang kunci dan berada pada posisi yang signifikan untuk memantapkan posisi dan menguatkan cengkeraman pengaruh kedua ideology besar tersebut, dimana nyatalah terlihat bahwa berkuasanya kapitalisme global saat ini adalah berkat keunggulannya dalam penguasaan media.

Media massa kini telah mengontrol hidup kita, mulai dari mode pakaian, kebutuhan pangan sampai cara bergaul dan menghargai diri dan keturunan kita. Dan sadarkah kita bahwa saking begitu hebat dan cerdiknya kampanye kapitalisme (juga sosialisme deh) lewat media massa tersebut, sehingga kita lupa dengan diri kita sendiri. Sadarlah sayank bahwa kita ini orang Indonesia yang berkebudayaan dan Beragama !!! Anda pasti setujukan bahwa kita ini bangsa yang merdeka ? Anda juga pastinya setuju kan bahwa anda buatan Tuhan yang setara dan otonom ?....

Kalau kita setuju bahwa kita ini bangsa yang merdeka dan Mahluk ciptaan Tuhan (Tuhanku sih Yts. Allah SWT) yang hanya boleh takut dan tunduk pada-Nya (di Islam dikenali konsepsi Syahadat), kenapa kita harus menghambakan diri pada tren pasar dan tuntunan globalisme barat ? beli baju kalo nggak minimalis takut dibilang gak modis, makan kalo nggak di Mc Donald atau KFC katanya gak modern, tubuh kalo nggak ditindik katanya kurang macho, dan akhirnya pacaran kalo nggak pernah ciuman dan (maaf) tidur bareng katanya garing ... dan tahukan kalau semua tren itu kita dapat dari tontonan TV (biasanya sih sinetron) dan informasi media (majalah atau internet) ?

Kalau kita ini bangsa yang merdeka, mestinya kita sadar bahwa kita masih punya batik, songket, sarung, kopyah, dan baju safari yang merupakan identitas kita sebagai rakyat indonesia, yang harusnya kita lestarikan dan banggakan sebagai kedirian kita sebagai satu bangsa. Kita juga harus sadar bahwa sejak adanya indonesia, bangsa ini adalah bangsa yang agraris yang menggantungkan hidupnya pada bercocok tanam dan mengolah alam, sehingga adalah satu yang aneh kalau pemerintahan kita saat ini menggalakkan industri berat dan pertambangan serta perambahan hutan sebagai sarana penghidupan dan pertumbuhan ekonomi bangsa ini. Terus kita sebagai rakyat sama saja...mulai malu dan meninggalkan pertanian dan perkebunan kita, padahal alam lah keunggulan bangsa ini dan bercocok tanamlah bakat hidup bangsa ini.

Boleh kan aku heran??? apa sih yang pengen kita buru dan dapat itu??? ketenaran sebagai negara industri dan moderenkah? bangsa modern yang gaul dan modern kah? apakah selama hidup kita ini, kita akan mengorbankan kemerdekaan dan aqidah kita hanya untuk menyandang predikat modern, gaul, modis, maju dll...??!! yah, kita akan korbankan aqidah kita, karena tuntunan aqidah (Islamiyah) menegaskan bahwa satu-satunya ketundukan hanya pada Allah dan hukum-Nya, satu-satunya kehormatan manusia adalah kapasitas ketaqwaan dan kemanfaatan hidupnya.

Ayolah kawan kita sadar dan bangkit bersama untuk saling menyadarkan, bahwa dengan memperbudakkan diri kita pada modernisme dan globalisme, kita telah menjadi bangsa miskin yang multi dimensional...kita tidak hanya sekedar miskin dalam uang, tetapi juga miskin dalam mental (buktinya kita tidak lagi malu kan minta tanpa memberi?...dasar bangsa pengemis), budaya (belum dinikahi kok udah mau di tiduri ? babi kali yah), de el el deh...akeeeeeh banget.. Apa sih enaknya dapat predikat gaul, modis, keren dan modern kalau status kita ini Babu alias budak ... ???

Ayolah kita contoh rakyat dan pemerintah Iran yang rela dikatakan sebagai negara teroris dan diktator oleh Amerika dan sekutunya, karena mereka mempertahankan kedirian mereka sebagai bangsa merdeka yang bermarwah. mari pula kita contoh Thailand yang tidak malu dengan predikat negara agraris. Mereka adalah satu contoh sukses bangsa yang merdeka. Iran yang sekecil itu dengan SDA yang kalah jauh dari kita ternyata menjadi satu negara yang paling ditakuti oleh Amerika dan sekutunya bukan?. Thailand? mereka juga pernah terkena krisis ekonomi seperti Indonesia, tetapi mereka mampu bangkit dari semua krisis yang ada, dan salah satu rahasianya adalah kekukuhan mereka akan tradisi bangsa mereka sebagai bangsa agraris.

Bangsa ini pernah besar dan begitu diperhitungkan di percaturan internasional, tapi itu dulu pada saat awal kemerdekaannya dan akhir orde lama. Tapi yang perlu di ingat, bahwa kita diperhitungkan bukan karena modis atau gaulnya pola hidup rakyat kita, juga bukan karena banyaknya anak SMU yang tidak perawan atau hamil diluar nikah. Bangsa ini degitu diperhitungkan karena keberanian kita mengatakan tidak pada Kapitalisme dan Globalisme beserta propaganda budayanya, dan mengibarkan dengan penuh bangga jati diri kita sebagai bangsa yang berdemokrasi pancasila, yang memegang teguh keselarasan antara kewajiban dan hak, dan keserasian hidup antara penguasa dan yang dikuasai (asas gotong royong tuh).

Akhirnya....

Ayo dong mas...mbak...pak...buk...kita hidup dengan cara Allah dan Kearifan bangsa ini ajarkan kita hidup...mari kita didik anak dan keluarga kita sebagaimana A. Dahlan, Ki Hajar dewantoro, Hasyim Asy'ari dan para penegak pendahulu bangsa ini ajarkan kita bagaimana menjadi manusia indonesia yang seutuhnya...dan mari kita olah alam ini dengan bijak, dengan mengingati bahwa alam semesta ini bukanlah satu yang diwariskan kepada kita, tetapi titipan dari anak keturunan kita yang berharap besar pada kearifan kita untuk memberi mereka kecemerlangan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar