Sabtu, 30 April 2011

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA KINI

Pendidikan dan pembelajaran adalah elemen terpenting dari langkah pemberdayaan masyarakat dalam rangka melakukan transformasi atau perubahn sosial menuju titik humanitas dan social welfare tertinggi, dimana ada dan tidaknya kesadaran untuk berubah dan berdaya dalm diri masyarakat dibentuk, dan untuk kemudian diupayakan berkembang melalui pembelajaran dan pendidikan yang partisipatif, dengan satu harapan bahwa dari pola pendidikan yang diupayakan tersebut akan muncul para par-excellent yang mampu menjadi motor penggerak perubahn sosial tersebut.

Bagi negaran dan bangsa ini yang sedang berad dalam multi keterpurukan, model atau juga pola pendidikan yang partisipatif dan kritis merupakan prasyarat utama untuk berdaya dan mentas dari jurang keterpurukannya, dimana sistem yang partisipatif dan kritis tersebut harus diawali oleh pembentukan sistem pendidikan dan perangkat regulasinya yang responsif terhadap kondisi dan aspirasi rakyat sebagai subyek pendidikan, artinya sistem pendidikan kita ditengah masyarakat yang lemah secara ekonomi dan kedirian ini sewajarnyalah mampu menyediakan adanya pendidikan murah dengan berbasis pada kemanusiaan dan kelokalan (baik spirit maupum nilai yang hendak dibangin).

Namun, apa yang menjadi relaitas kekinian wajah dunia pendidikan kita saat ini belum, atau mungkin tidak mencerminkan wajah yang responsif dan kondusif bagi adanya perubahan sosial progresif, bahkan cenderung mengarah pada sebuah bentuk pendidikan yang alienatif bagi edentitas peserta didiknya. semakin terkikisnya peran Negara sebagai dampak pengabdian Negara pada kapitalisme berbuntut pada minimnya peran Negara dalam menjamin kesejahteraan masyarakat dan eksistensi lokalitas masyarakat, karena yang berjalan dan menjadi standard bukan lagi nilai luhur ketuhanan dan kebangsaan, tetapi nilai hewaniah pasar dan globalisme. Sehingga alih-alih dikeluarkannya kebijakan otonomi sekolahan (kampus) dengan kulikulum berbasis kompetensi mampu menyediakan pendidikan murah dan berkualitas, pendidikan berkualitas namun mahal saja menjadi sesuatu yang langkah dan karenanya sulit untuk dijumpai, bahkan dengan rancunya standard kompetensi keterpelajaran, peserta didik dibuat linglung dan semakin jauh dari sadar akan diri dan fungsi dia sebagai seorang yang terdidik.

Secara jujur kita harus mau menerima bahwa pendidikan Indonesia saat ini tidak lagi layak disebut sebagai kawah condro dimuko yang mampu mencetak seorang manusia par-excellent layaknya Gathot kaca di pewayangan, karena pendidikan Indonesia kini lebih mirip seperti pabrikan robot yang mengolah bahan baku (rakyat dan modalnya) yang tersedia untuk dijadikan beberapa macam jenis robot, sehingga layaknya robot, pelajar robot Indonesia harus mau menerima standard program, kemampuan, penalaran dan kedirian yang telah diformat dan ditentukan oleh pabrikannya tanpa bisa protes dan meng up-grade dirinya secara mandiri.

Pudarnya moral agama, munculnya materialisme, pola hidup konsumtif dan lahirnya neo feodalisme di Indonesia akhir-akhir ini adalah bukti nyata “keberhasilan” sistem pendidikan pasar Indonesia dalam menciptakan manusia robot, manusia yang didalam otaknya ditanamkan chip yang hanya tahu bahwa standard kecerdasan adalah angka 9 (sembilan) dan huruf A, standard kesejahteraan adalah Rp (rupiah), standard keren adalah “Levi’s” dan “Nike”, dan standard baik-buruk serta kebenaran adalah keumuman. Jika melihat realitas tersebut, kiranya tepat menyatakan bangsa ini sekarang ada tapi tidak berada atau dalam terma arab di sebut ujuduhu ka adamihi, bangsa tanpa identitas jelas sebagai bangsa dan karenanya segera tiada.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita mau saja menerima realitas tersebut untuk kemudian ikut sebagi penggembiranya?. Penulis yakin siapapun yang faham kondisi tersebut akan mengatakan tidak, tapi memulai dari mana adalah satu permasalahan rumit yang terkadang membuat banyak orang berhenti untuk bergerak. Dalam hemat penulis, perubahn harus dilakukan secara sadar oleh subyek pendidikan (masyarakat) dan penyelenggara sistem pendidikan (Negara). Subyek harus berani untuk secara kritis mengetengahkan sekaligus menuntut pemenuhan kebutuhannya dan dengan sadar mau kembali memikirkan kembali keberadaannya sebagai bagian dari komunitas, untuk kemudian menjalankan kewajibannya sebagi anggota masyarakat memperjuangkan suatu sistem yang manjamin eksistensinya sebagai anggota komunitas.

Di sisi Negara, Negara harus mau kembali kepada fungsi awalnya sebagai penjamin kesejahteraan dan penjaga keamanan rakyatnya, dimana Negara harus mau menolak dan melawan belenggu pasar global bagi penentuan kebijakn sosialnya, untuk kemudian secar konkrit mau merubah kebijakn pembangunan yang ada kepada pembangunan manusia, dengan sakah satu langkahnya adalah penciptaan sekolah murah dengan peningkata alokasi dana APBN untuk pendidikan dan merevisi kebijakan kurikulum menjadi kurikulum yang ramah lingkungan dan ramah terhadap keberagaman sosial maupun individual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar