Jumat, 08 April 2011

FIQIH 1

SUMBER (DALIL) HUKUM ISLAM

1. Al-qur’an.
Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Beranjak dari pemahaman diatas dalam kaitannya dengan kajian fiqih, maka kedudukan Qur’an adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum Islam, menjadi rujukan utama bagi tatanan kehidupan kaum muslimin.
Kedudukan qur’an sebagai dasar hukum tertinggi dalam Islam tidaklah diperdebatkan, karena jumhur ulama’ tidak ada perdebatan didalam masalah tersebut. Sebagai kalam Allah, bahkan hanya qur’an jualah yang penetapannya sebagai dasar dan sandaran hukum tidak dipertanyakan dan terjadi perselisihan. Qur’an merupakan dasar konstitusi yang lengkap (bersifat kulli), didalamnya menata secara lengkap prinsip-prinsip kehidupan sebagai hujjah bagi para muslimin dalam menjalankan hidupnya, meliputi jasmani maupun rohani, diniyah maupun amaliyah duniawiyah.
Karena sifat qur’an yang kulli tersebut, maka sifat dari ketentuan-ketentuan (dalil-ayat) yang ada padanya sebagian besar bersifat mujmal (umum) yakni menetapkan prinsip-prinsipnya saja, atau hanya member garis besar dari suatu banguna hukum, sehingga atas ketentuan tersebut dibutuhkan sesuatu untuk mentafshilkannya (memperinci-mempertegas), disinilah kemudian dibutuhkan adanya As-Sunnah untuk menjelaskan maksud qur’an.

2. As-sunnah.
As-sunnah atau apa yang jama’ disebut dengan Al-hadits dalam pandangan Asy-syathibi difahami sebagai “apa-apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan taqrir-taqrir nya, baik sebagai penjelasan terhadap isi Al-Qur’an, maupun tidak ”.
Taqrir adalah sikap Nabi SAW yang mendiamkan, tidak menegur dan membantah terhadap sesuatu pekerjaan yang dikerjakan oleh seseorang shahabi. As-sunnah adalah lawan dari bid’ah, yakni dikatakan nyunnah jika amalan yang diperbuat oleh seseorang itu berkesesuaian tuntunan dan perbuatan yang dipercontohkan Nabi SAW.
Kedudukan As-sunnah dalam hierarkhi sumber hukum Islam berada dibawah Qur’an, sebagai penjelasan atas maksud terkandung dalam qur’an, yakni penerang bagi ayat-ayat Qur’an yang bersifat kulli dan mujmal, pemerinci dari ketentuan Qur’an yang masih berbentuk asas dan karenanya ringkas. Karena kedudukannya dan sumber diadakannya sunnah tidak langsung dari Allah (bukan wahyu), maka kebenaran sunnah tidaklah mutlaq, dalam pengertian keberadaan sunnah yang ternyata dalam kitab-kitab perlu untuk diteliti dahulu keshahihannya, sehingga muncullah kemudian ulumul hadits dan mushtholahul hadits. Penelitian ini diperlukan karena dalam parameter faqih, hanya hadits/sunnah yang shahih dan sharih jualah yang dapat dijadikan hujjah dalam mengeluarkan satu keputusan hukum.
Contoh : Dalam Al-qur’an Surat Al-maidah ayat 90 dinyatakan , dinyatakan bahwa khamr itu najis dan merupakan perbuatan syaithan. Permasalahannya adalah apa yang dimaksud dengan hamr itu? Untuk menjelaskan ini maka diperlukanlah dalil hadits, dalam riwayat muslim dinyatakan bahwa ( كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ, وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ ) sehingga makna najis dari ketentuan itu adalah haram, dan yang dimaksud dengan khomr adalah segala sesuatu yang dapat menjadikan seseorang mabuk (hilang akal sehat).

3. Al-ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan sebagian besar ulama’, yakni dalil (istimbath hukum) yang dikeluarkan berdasar pada kesepakatan jumhur (sebagian besar) ulama’ yang dikumpulkan oleh penguasa negara atas suatu permasalahan.
Seiring perkembangan zaman maka permasalahan (kasus) yang dihadapi oleh manusia pada setiap masanya juga turut berkembang dan kian beragam (kompleks), yang terkadang untuk menyelesaikannya tidak dapat dilakukan dengan hanya mendasarkan (menyandar) pada dalil Qur’an dan Hadits yang ada secara kaku dan apa adanya.
Perkembangan ijma’ ini telah ada sejak masa khulafa’ur rasyidin, dan dalam pandangan sebagian besar ahli ushul dinyatakan bahwa hanya ijma’ pada masa sahabat jua yang dapat dijadikan hujjah, hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad Ibn Hambal dan Abu Muslim Al Asfahani, karena dalam pandangan keduanya ijma’ setelah masa sahabat mustahil terjadi karena tidak mungkin mengumpulkan semua ulama yang tersebut di penjuru negeri secara bersamaan.
Adapun kedudukan Ijma’ ini hanyalah sebagai hujjah yang bersifat dhanni (persangkaan) dan karenanya tidak boleh berlawanan dengan prinsip utama yang terdapat dalam qur’an dan sunnah yang shahih. Penggunaan dalil ijma’i hanya boleh pada permasalahan amaliya- muammalah, tidak pada urusan I’tikadiyah.

4. Al-qiyas.
Qiyas pada masa shahabat dimaknai sebagai penggunaan nalar secara maksimal untuk “Mengembalikan susuatu kepada maksud syara’, kepada kaidah-kaidah yang umum dan kepada illat-illat yang jelas dipahamkan yang tidak diperselisihkan lagi” dalam pandangan Rasyid Ridla, dalil qiyas inilah yang dimaksudkan oleh Allah tentang “Ar-ruju’ ilallahi warrasuli”.
Qiyas dalam pandangan ahli ushul ialah : menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaan itu antara sebab (yang menyebabkan) dan musababnya (yang disebabkan) hukumnya juga sama. Dalam qiyas dikenal istilah “Pokok” dan “Cabang”, Pokok adalah tempat mengqiyaskan hukum, adapun Cabang adalah yang diqiyaskan. Contoh : Pokoknya arak haram, cabangnya segala minuman yang memiliki efek seperti arak hukumnya haram.
Syarat hukum Pokok adalah hukum yang tidak diambil dari qiyas, artinya harus bersandar langsung pada dalil qur’an dan sunnah. Adapun hukum cabang mempersyaratkan adanya illat (sifat-nilai) hukum pokok.

5. Al-istidlal.
Difahami sebagai “menegakkan dalil untuk sesuatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma’ ataupun lainnya”. “istidlal juga difahami sebagai mempergunakan sesuatu (dalil yang tidak terdapat dalam nash, ijma’ maupun qiyas). Perbedaan antara istidlal dengan qiyas amat tipis, yakni pada ada tidaknya illat. Jika suatu hukum itu diambil berdasar illat maka itu qiyas.
Contoh istidlal adalah: ketentuan dari tidak adanya wudlu dengan tidak sahnya sembahyang. Bahwa apabila seseorang kentut maka wudlu’nya gugur, maka dengan sendirinya orang yang kentut shalatnya tidak sah lagi, ini diambil dari kelaziman tidak ada wudlu’- tidak sah shalat.
M. Hasbi Asshiddieqy menyimpulkan bahwa istidlal adalah “Suatu rangkaian hukum yang menyebabkan timbul rangkaian hukum yang lain”.

6. Al-istishhab.
Ulama’ ushul menyatakannya sebagai “Mengekalkan apa yang telah ada terhadap keadaan yang telah ada, karena tak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini”.
Contoh: seseorang yang pada mulanya wudlu’ kemudian ragu-ragu dalam hatinya bahwa boleh jadi ia telah kentut. Dalam hal ini istishhab adalah menetapkan dan meyakini hukum bermula, yaitu masih adanya wudlu’, dan menyingkirkan keraguan yang ada.

7. Al-marsalatul Mursalah.
Diartikan sebagai “Memelihara maqsud syara’ dengan jalan menolak segala yang merusakkan mahluq”. Hujjah dengan dasar ini umum dipakai madzhab maliki. Dia berpandangan bahwa maksud agama dan adanya syariat adalah untuk kemaslahatan ummat, jadi sekiranya kemaslahatan terpelihara maka tujuan syarak terpenuhi.
Dasar ini banyak ditinggalkan jumhur ulama dan merupakan dasar yang lemah dan bahkan tidak diakui keterpakaiannya dalam berhukum.

8. Al-istihsan.
Istihsan ialah berpindah dari suatu hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya, kepada hukum yang berlawanan, karena ada sesuatu sebab yang dipandang lebih kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar