Jumat, 11 Maret 2011

ber-ISLAM HARUS MERDEKA

Dewasa ini kita sering disuguhi oleh banyak sekali wacana-wacana pembaruan dan pembebasan, entah itu yang berasal dari akar budaya barat dengan kapitalisme dan sosialismenya, maupun yang secara reflektif berangkat dari kultur bangsa timur, entah itu dari wacana Sun Yat Sen dengan san min chu-i dan Mahatma gandi dengan revolusi damainya. Sebagai bangsa timur yang memiliki latar budaya yang unik sebagai satu entitas sosial, maka kenyataan yang terhampar kini, dimana tonggak perubahan bangsa Indonesia (reformasi) beranjak dari dan dibingkai oleh konsep kebangsaan, kenegaraan, kemanusiaan dan kesejahteraan bangsa barat, yang nyata kini berpijak pada konsepsi libertarian democratic milik kaum kapitalist, adalah satu yang tidak bisa dianggap lumrah apalagi sampai dikatakan tepat dan sangat baik.

Sebagai bangsa ber-Pancasila yang menegaskan dasar kemerdekaannya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan mengakui bahwa; “hanya atas berkat rahmat Allah dengan didorong oleh keinginan luhur” lah kemerdekaannya dapat terwujud, maka bangsa ini seharusnyalah punya konsep dan cita kemerdekaannya sendiri. Bangsa ini berbeda dengan bangsa lain, karena lahirnya bangsa ini bukanlah hasil perjuangan rakyat melawan tirani penguasa. Kita sebagai satu kesatuan negara ini lahir sebagai kehendak sadar nalar keimanan kita atas Allah SWT, yang tegaskan ajarannya bahwa manusia itu sederajad dan tidak boleh ada perbudakan manusia atas manusia, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-hujurat Ayat : 13.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Konsepsi ketaqwaan tersebutlah sesungguhnya landasan asasi negara dan bangsa ini ada, sehingga sudah setepatnyalah jika kemudian kini bangsa ini kembali pada konsep taqwa sebagai landasan kemerdekaan dan cita kesejahteraannya. Cita manusia Indonesia yang seutuhnya dengan menilik pada logika dasar ketakwaan sebagai parameter kemulyaan, pada asasnya mengarah kepada sebentuk manusia indonesia yang bertakwa kepada Allah SWT.

Begitu pentingnya ketakwaan itu dalam kehidupan seorang manusia, sehingga dalam banyak ayat di dalam Al-Qur'an memberi penegasan akan perintah Allah atas umat-Nya untuk beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Perintah tersebut secara tersurat dapat kita lihat berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imron : 102)

Asal perintah itu adalah wajib. Sehingga adalah satu dosa dan berakhir pada adzab neraka bagi mereka yang melawan dan tidak tunduk atas perintah untuk bertaqwa tersebut.

Permasalahannya adalah, apa dan bagaimanakah itu taqwa? bangsa penduduk negara ini mayoritas beragama islam, dan mungkin ketika kita bertanya kepada semua orang Islam tersebut apakah mereka bertaqwa atau tidak kepada Allah-nya, maka dapat dipastikan mereka akan menjawab “kami bertaqwa kok kepada Allah”. Tapi, satu yang janggal adalah, kalau penduduk di negara ini beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka bukankah seharusnya Indonesia dan manusia yang menghuninya tidak sewajarnya berada dalam ketertindasan dan bencana tak berkesudahan seperti sekarang ini? Karena nyata Allah telah janjikan kebahagiaan hidup kepada kaum yang bertaqwa, sebagaimana dalam QS. Al – A'raf ayat : 96 :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Nyata jelas dan tegaslah janji Allah akan kemulyaan dan kecemerlangan peradaban sebuah bangsa dijamin, tetapi dengan syarat ada ketaqwaan dalam jiwa dan kehidupan bangsa tersebut. Lantas apa yang salah dari ketaqwaan bangsa ini? Jawabnya jelas, bahwa ketaqwaan yang diaku-akui oleh sebagian besar muslim negara ini cetek nalar dan salah tafsir, yakni ketaqwaan semua ala “Islam KTP” yang tidak pernah dimaknai sebagai satu konsep hidup dan kerangka kehidupan. Sehingga adalah wajar jika dengan kualitas ketaqwaan demikian banyak muslim yang rutin shalatnya serta rutin pula KKN-nya. Jika tetap demikian adanya, maka mari kita mulai lupakan terwujudnya cita “masyarakat indonesia yang seutuhnya, yang berkesejahteraan untuk seluruh rakyat indonesia”, karena cita kebangsaan itu hanya akan bisa direngkuh dengan “berkat rahmat Allah serta didorongkan oleh keinginan luhur” bangsa ini, sedangkan rahmat-Nya ada dalam kesejatian taqwa ummat-Nya.

Islam citakan Kemerdekaan dalam Pengabdian.
Dasar konsepsi taqwa dalam islam bersandar pada pemaknaan dua kalimah syahadat, yakni “LA ILAAHA ILLA ALLAH, MUHAMMADAN RASULULLAH”, yang jamak diterjemahkan dengan “Tiada Tuhan Selain Allah”. Syahadatain bukan sekedar ikrar bagi seseorang untuk masuk islam, namun lebih dari itu syahadatain adalah landas thelogis (Aqidah/Tauhid) dan konsep hidup bagi seorang muslim dan mukmin dalam kehidupannya. Sebagi suatu konsep Tauhid, syahadatain didirikan atas dua bagian konseptual, yakni Laa Ilaah dan Illa Allah.

Laa Ilaah (tiada tuhan dan/atau sesembahan) adalah konsepsi dasar keislaman seseorang, yang mengandung makna pembebasan. ya, pembebasan, karena dalam konsepsi ini Allah ajarkan bahwa seorang manusia adalah mahluq pilihan yang bebas merdeka dari perbudakan atas apapun dan oleh siapapun. Allah ciptakan manusia dengan sesempurna penciptaan, yang didalamnya dibekali oleh daya rasa, karsa dan cipta, dengannya ia berkemampuan untuk menentukan hidupnya sendiri.

Konsepsi manusia sebagai mahluq yang merdeka ini adalah landasan asasi yang menjadi parameter eksistensi manusia dalam kehidupannya, baik pada ranah kehidupan sehari-hari di keluarga dan lingkungannya, maupun dalam rangka meneguhkan eksistensi negara sebagai cipta kepemimpinannya. Buya Hamka terkait dengan konsepsi La Ilaah tersebut juga berpandangan bahwa yang bisa membedakan manusia dari robot dan mahluq lain di muka bumi ini adalah pada akal fikiran dan keimanan dalam hatinya, sehingga manakala tiada kemampuan dan/atau kemerdekaan bagi seseorang untuk hidup sesuai dengan fikiran sehat dan kehendak keimanannya yang merdeka, maka eksistensinya sebenarnya tidak ada bedanya dengan robot.

Secara detail Buya Hamka dalam bukunya “Pandangan Hidup Muslim” terbitan tahun 1966 menyatakan demikian :
“Suatu masjarakat jang mentjapai martabat setinggi-tingginja dalam dunia ini, ialah bilamana dia mempunjai kebebasan. Dan inti-sari kebebasan adalah tiga perkara; 1. Kebebasan Kemauan (iradat). Disebut dalam bahasa Indonesia lama “karsa”. 2. Kebebasan menjatakan fikiran. Disebut dalam bahasa Indonesia “Periksa”. 3. Kebebasan djiwa dari keraguan, dan hanja satu djadi tudjuan. disebut dalam bahasa Indonesia “Rasa” .... Kebebasan itulah pokok pertama bagi seorang pemimpin jang mempunjai tjita hendak membawa kaumnja kepada keadaan jang lebih baik ... sebab, tjita menimbulkan tjipta.”1

Nukilan pandangan Hamka tersebut jika ditarik kepada persoalan kebangsaan saat ini, kiranya bisa sebagai rujukan analisis, kenapa negara sekaya Indonesia dengan SDA dan SDM yang begitu melimpah kini terpuruk dalam ragam krisis yang menistakan? Jawabnya adalah bahwa telah nyata keterjajahan sedang melingkupi segenap elemen bangsa ini, baik itu pemerintahnya maupun rakyat yang sedang diperintah.

Jika pemerintah terjajah oleh kepentingan kapitalist yang berkedok investasi dan bantuan pembangunan, sehingga mereka menjadi orang lingling yang serba takut dan ragu untuk melakukan pembelaan terhadap rakyatnya yang ditindas oleh para pemodal, serta juga rela memberikan aset negara untuk dijarah dan dikuasai para penguasa pasar. Maka keterjajahan rakyat penduduk negara ini ada pada pola fikir, tindak tanduk dan pola sikapnya yang tidak lagi dapat dikatakan sesuai dan selaras dengan fitrah kemanusiaan mereka, dan itu terbukti dari nuansa hidup bangsa ini sekarang yang kental dengan anarkhi, amoralitas, nudisme, individualistik, modisme dan serba pasar, yang jelas-jelas tidak dapat dikatakn selaras dengan identitas kebangsaan dan keberagamaan bangsa ini.

Islam sebagai satu identitas kebangsaan Indonesia tidak menawarkan kemerdekaan dan/atau kebebasan buta yang tanpa batas dan sekat sebagaimana isme-isme barat tawarkan selama ini. Islam menawarkan satu konsepsi pembatasan kekuasaan kebebesaan yang sungguh indah dan tidak pernah ada ajaran lain tawarkan pada manusia, yakni kemerdekaan dalam batas-batas ketuhanan, dan itu ada dalam konsepsi penisbatan Illa Allah (selain Allah).

Illa Allah dalam konsepsi ketaqwaan ini bermakna penghambaan semata-mata hanya pada Allah, yakni sebagaimana apa yang tersebut dalam QS. Al-An'am 162 : قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (Katakanlah: Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam).
Sebagai satu konsep hidup, Illa Allah bagi seorang muslim adalah batasan sekaligus sandaran baginya atas kemerdekaan yang secara asasi dan asali diberikan terhadapnya. Seorang muslim yang bertaqwa dengan ini berarti seseorang yang bebas merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas berkreasi dan mengembangkan diri serta memiliki kesetaraan kesempatan dan kepentingan yang harus juga secara setara dilindungi dalam hidupnya, namun kebebasan itu dalam bingkai ketuhanan, yakni kemerdekaan yang sesuai dengan aturan Allah.

Konsep ini sungguh indah, karena dengan konsepsi ketaqwaan ini tiada pembenaran atas perbudakan oleh manusia atas manusia, tiada alasan bagi sebuah diskriminasi, intimidasi dan monopoli oleh yang kuasa kepada yang lemah dan minoritas. Muslim yang bertaqwa dengan sebenar taqwa akan terhindar dari citra seorang Muqollid, terjaga dari tipu daya duniawiyah baik itu harta (modisme, gaulisme), tahta dan wanita, serta akan mampu tampil gagah berani dengan harta dan juwanya untuk memperjuangkan kebenaran yang dipercayainya tanpa ada secuilpun rasa takut akan kematian maupun kemelaratan, karena ia yakin bahwa Allah telah bersamanya dan mengharapkan perjumpaan yang indah dengannya.

Marilah kita kembali mencermati keberadaan diri kita ini. sudahkah hidup kita ini hanya bergantung pada ALLAH? sudahkah kita ini telah merdeka dari ketergantungan hidup dan penghambaan diri pada duniawiyah? Dan bahagialah bagi kita semua yang dalm hati kita hanya terpaut pada Allah dan mampu untuk bersyukur atas apa yang diberikannya kepada kita.
marilah kita cermati Firman Allah berikut :

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. Al-An'am : 48)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar