Minggu, 13 Maret 2011

MENYENTUH PEREMPUAN SESUDAH WUDLU

Disarikan dari Kata Berjawab Ust. A. Qadir Hasan

Laki-laki yang sudah berwudlu lalu bersentuhan dengan istrinya sendiri atau perempuan lain, sengaja atau tidak, tidak membatalkan wudlunya karana tidak terdapat satupun dalil Agama yang mengatakan batal.
Orang yang mengatakan persentuhan itu membatalkan wudlu menunjukkan beberapa keterangan yang dianggapnya dalil, yaitu:

Alasan pertama:
Ada satu riwayat panjang dari Mu’azd bin Jabal. Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Saw hukum orang bersentuhan dengan perempuan (selain bersetubuh). Ketika itu tutun ayat Al Qur’an (Surah Hud 114) kemudian Rasulullah Saw memerintahkan orang itu berwudlu dan shalat.
Mereka berpendapat nahwa bersentuhan dengan perempuan itu membatalkan wudlu, sebab kalau tidak tentu Nabi Saw tidak memerintahkannya berwudlu.

Bantahan:
Hadits Mu’adz ini diriwayatkan oleh Imam-imam: Ahmad, Daraquthni, dll, tetapi tidak sah, karena diantara yang menceritakannya ada yang terputus, yaitu Abdurrahman bin Abi Laila yang meriwayatkannya tidak mendengar dari Mu’adz tersebut. Maka tidak dapat dijadikan alasan.

Alasan kedua:
Mereka bawakan firman Allah, yaitu surah An-Nisa 43, yang artinya:
Dan jika kamu sakit atau dalam pelayaran atau seorang dari kamu habis buang air atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air, maka hendaklah kamu bertayamun dengan debu yang bersih... (An-Nisa: 43).
Dalam ayat ini ada kata-kata “Laamastum” mereka artikan “sentuh”, jadi sentuh perempuan membatalkan wudlu.

Bantahan:
  1. Jika benar lamastum itu bermakna “bersentuhan biasa”, tentu bersentuhan dengan ibu, saudara perempuan, anak perempuan juga harusnya membatalkan wudlu. Sebab ayai itu hanya menyentuh “perempuan” dengan tidak terkecuali dan tidak ada keterangan lain mengecualikan ibu, saudara, dan anak perempuan.
Tetapi golongan ini menetapkan bahwa bersentuhan dengan ibu, saudara, dan anak perempuan tidak membatalkan wudlu.
Jika ditanya apa dalilnya ibu dan sebagainya itu dikecualikan, mereka menjawab bahwa bersentuhan dengan ibu, saudara, dan anak perempuan itu tidak menimbulkan syahwat. Dasar mereka ialah tentang “timbulnya syahwat”.
Kalau dasarnya “timbulnya syahwat” maka bilamana seseorang melihat seorang perempuan dapat menimbulkan syahwat, walaupun tidak keluar madzi, tentu membatalkan wudlunya. Tetapi mereka tidak berkata demikian. Adanya ketidakseimbangan antara dalil dan fakta yang mereka bawakan menimbulkan keraguan.
  1. Lamastum tidak dapat dimaknai “bersentuhan biasa”, sebab Nabi Saw pernah mencium salah satu istrinya sesudah berwudlu, sebagaimana diriwayatkan, yang artinya :
Dari Aisyah bahwa Nabi Saw mencium salah seorang isterinya kemudian beliau shalat tidak berwudlu (lagi)” (Abu Dawud). Riwayat ini sah dengan beberapa jalan (sanad) dari Nasa’i, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Al Bazzar.
Jika “bersentuhan dengan perempuan” membatalkan wudlu, tentu Nabi Saw tidak langsung mengerjakan shalat.
  1. Ada riwayat lain dari Aisyah
Artinya : “’Aisyah berkata : Pada malam saya kehilangan Rasulullah Saw dari tempat tidur, lalu saya mencari-cari beliau, maka terletaklah kedua tangan saya pada tapak kaki beliau yang tercacak, sedang beliau dalam sujud... (Muslim)”.
Jika benar menyentuh perempuan membatalkan wudlu, tentu sesudah kaki Nabi Saw disentuh ‘Aisyah, beliau batalkan shalatnya. Tetapi dalam riwayat itu Rasulullah Saw tetap meneuskan shalat.

Kesimpulan:
Tidak ada dalil yang membatalkan wudlu karena persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang mana saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar