Jumat, 11 Maret 2011

Hukum Shalat Qashar (2)

Soal : apakah wajib atau sebagai rukhshah shalat qashar bagi musafir?
Jawab :
tentang ini ada dua perdapat yang dapat diajukan sebagai dasar kita berpijak menentukan hukum;
PENDAPAT PERTAMA.
Wajib Musaffir mengqashar shalat Dhuhur, Ashar dan Isyar.
Golongan ini membawa beberapa alasan.
1.   Umar berkata, yang artinya;
“Shalat shafar adalah dua raka’at…sempurna, bukan Qashar, dengan perantaraan Rasulullah SAW (HSR. Ahmad, No. 257, Abu Khoitsamah, Nasaa’I, Ibnu Majjah)”.
Bantahan:
Perkataan “dua raka’at…sempurna bukan qoshar” bisa difahami :
a.   Bahwa shalat dua rakaat dalam safar itu, adalah satu ketentuan yang wajib; dia bukan shalat qashar dari empat rakaat, tetapi dari asal ketentuannya dianggap sebagai shalat sempurna. (menurut faham ini maka shalat qashar itu wajib).
b.   Bahwa shalat qashar itu, adalah ringkasan dari empat rakaat. Rukun-rukunnya harus disempurnakan seperti waktu masih empat rakaat, tidak boleh dikurangi. (menurut faham ini maka adalah qashar itu belum menunjukkan wajib).
Karena ada dua macam faham tersebut, maka tidak dapat dikatakan bahwa shalat qashar itu wajib.
2.   Adalah riwayat bukhori dan muslim, dari ibnu Umar, ia menerangkan bahwa Rasulullah SAW; abu bakar, umar dan utsman selama dalam perjalanan tidak pernah shalat dhuhur, ashar dan isya’ lebih dari dua rakaat sampai wafatnya (Nailul-Authar 3:245).
Kata golongan pertama : riwayat ini menunjukkan bahwa shalat qashar itu wajib.
Bantahannya:
Pendapat ini tidak dapat diterima, karena:
a.   dalam Qur’an Annisa’: 101, Allah SWT berfirman bahwa musaffir tidak ada halangan mengqashar shalat.
b.   Maka semata-mata perbuatan Rasulullah SAW. Dengan tetap mengqashar shalat sampai wafatnya itu, tidak menunjukkan bahwa qashar itu wajib.
c.   Selain itu, dalam riwayat lain, ibnu umar berkata yang artinya :
“aku pernah shalat bersama Rasulullah SAW. Di Mina dua rakaat, dan (bersama) abu bakar, umar dan utsman di permulaan pemerintahannya (juga dua rakaat), kemudian utsman menyempurnakannya (dengan empat rakaat).” (Bukhori : FB. 2: 381)
perkataan ibnu Umar “kemudian Utsman Menyempurnakannya”, itu maksudnya : waktu permulaan menjadi kholifah, Utsman, selalu mengqashar shalat dalam perjalanan. Sesudah enam tahun menjadi khalifah, Utsman selalu shalat sempurna dalam perjalanannya.
d.   Perbuatan Utsman ini dilakukan dihadapan beberapa shahabat. Tidak seorangpun menegurnya. Ini menunjukkan bahwa shalat qashar itu tidak wajib.
3.   Ada riwayat dari ‘Aisyah, ia berkata yang artinya :
“shalat itu, pertama “difardlukan” adalah dua rakaat. Lalu ditentukan (dua rakaat itu) untuk shalat shafar dan disempurnakan untuk shalat hadlar (dalam negeri). (Bukhori: FB. 2: 386).
Kata orang yang mewajibkan qashar: perkataan ‘Aisyah “lalu ditentukan (dua rakaat itu) untuk shalat shafar”, menunjukkan bahwa shalat dua rakaat (qashar itu wajib).
Bantahannya:
a.   riwayat tersebut adalah omongan ‘Aisyah sendiri, karena ia tidak mengalami masa diwajibkannya; riwayat begini disebut mauquf.
b.   Kata-kata ‘Aisyah “difardlukan” itu, dapat diartikan “ditentukan ukurannya”, yakni ditentukan dua rakaat bagi yang mau mengqashar.
c.   Kata-kata “difardlukan” itu tidak kena kalau diartikan “wajib” karena ‘Aisyah yang meriwayatkan itu sendiri pernah shalat shafar empat rakaat sebagaimana kata urwah, dari ‘Aisyah, yang artinya:
“bahwa adalah ‘Aisyah shalat dalam perjalanan empat rakaat. Lalu aku (urwah) berkata kepadanya: “alangkah baiknya kalau engkau shalat dua rakaat !” Jawab ‘Aisyah: “hai keponakanku! Sesungguhnya itu tidak berat bagiku!”. (SR. Baihaqi: 3: 143, FB2: 387).
Kalau shalat qashar itu wajib, tentu ‘Aisyah tidak akan shalat empat rakaat sebagaimana riwayat tersebut.
4.   dan ada beberapa riwayat lagi yang dapat dimasukkan dalam salah satu dari tiga alasan tersebut, dan bantahan-bantahannya juga sudah ada diatas.

PENDAPAT KEDUA.
Bahwa shalat shafar itu tidak wajib, hanya sebagai rukhshoh (kelonggaran) saja, dimana bantahan-bantahan pada pendirian pertama diatas adalah dari golongan kedua ini, lalu mereka membawakan alasan-alasan bagi pendiriannya, yaitu:
Alasan I:
Firman Allah SWT, As-Nisa’ 101, yang artinya :
“dan apabila kamu bepergian, maka tidak ada atas kamu sesuatu “halangan” untuk mengerjakan Qashar dari shalat…”
ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa shalat qashar itu tidak wajib, karena kata-kata “tidak ada halangan” itu bermakna “tidak berdosa”, “tidak salah”, “tidak mesti” dan sebagainya. Ini semua merupakan kelonggaran yang diberikan Allah SWT kepada kita.
Alasan II :
Khalifah Utsman, di waktu menjadi kholifah, mengqashar shalatnya dan menyempurnakannya dengan tidak ada teguran dari seorang sahabat pun; sehingga ini menunjukkan bahwa qashar itu tidakwajib.
Sesudah kita ketahui kelemahan alasan-alasan orang mewajibkan qashar, maka dengan dua alasan yang dibawa oleh golongan yang menyanggahnya, nyatalah bahwa shalat qashar itu bagi musaffir adalah satu rukhsoh (kelonggaran).
Dalam kaidah syar’iyah, hukum rukhshoh itu adalah sunnah muakkadah, dengan berdasar pada ketentuan bahwa rukhshoh adalah sedekah Allah SWT, dan tidak diambilnya sedekah itu adalah kesombongan.

[1] Disarikan dari Kitab Kata Berjawab, karangan Ust. Abdul Qadir Hasan. Edisi 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar