Jumat, 11 Maret 2011

Politik Islam Ataukah Politisasi Islam

Belajarlah Dari Sejarah…!!!


Indonesia adalah negara yang majemuk, dimana apa yang dikatakan bangsa indonesia sesungguhnya adalah istilah kesatuan untuk menamai gugusan bangsa yang sugguh beragam didalamnya. Namun, satu yang menarik, bahwa ditengah keragaman itu, untuk urusan agama dan kepercayaan yang juga bisa dikatakan beragam, Islam merupakan satu agama yang mayoritas dianut oleh penduduk indonesia (sekitar 83% dari jumlah penduduk), bahkan dapat dikatakan Indonesia adalah negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Hal ini menarik, mengingat dengan keberagaman suku bangsa, tentunya akan berpengaruh pula pada keberagaman adat istiadat dan pola pandang dunia dari penduduk Indonesia. Mengapa Islam Dominan? Jawabnya adalah karena Islam mampu berdiri diatas golongan dan kepentingan individu serta mengajarkan bahwa hanya ketaqwaan dan Ilmu jualah yang menjadikan seorang manusia lebih tinggi derajadnya dari manusia lainnya.

Besarnya ummat Islam di Indonesia telah mampu menjadikan apa-apa yang terkait dengan Islam dan ummatnya menjadi sesuatu yang menggiurkan bagi banyak kepentingan, baik pasar maupun kepentingan politik. Suatu bukti begitu larisnya issue Islam bagi perpolitikan Indonesia dapat dilihat dari betapa label sebagai agama mayoritas telah menjadikan Islam komoditas Issue dan Muslimin sebagai target kampanye para kandidat kepala daerah, kandidat presiden dan partai politik guna pemenangan pemungutan suara dan tercapainya cita politiknya.

Sejak era awal kemerdekaan, tepatnya pada saat Pemilu pertama tahun 1955 yang dikenang sebagai Pemilu yang paling demokratis dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi, ditandai dengan tingkat partisipasi politik masyarakat yang besar dan berkualitas serta peserta pemilu yang banyak (beragam) namun tetap tertib, muslimin Indonesia sesungguhnya telah memiliki (dan mungkin satu-satunya) figur partai politik yang berasas Islam yang bisa dijadikan rujukan, yakni Partai Masyumi. Masyumi lahir sebagai sebentuk cita para tokoh muslim Indonesia saat itu untuk memperjuangkan agar falsafah dan cita lahir negara ini, sebagai negara berdasar pada “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran islam bagi para pemeluknya” tetap pada rel-nya. Mengingat pada massa awal kemerdekaan itu, seiring dengan gencarnya perang dingin antara block barat pimpinan Amerika Serikat dengan faham liberalismenya dan block timur pimpinan Uni Soviet dengan faham komunismenya, mencoba untuk masuk dan menanamkan ideologinya atas Indonesia merdeka.

Dengan latar belakang kesejarahan semacam itu, kiranya Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam, lahir murni dari rahim cita kemerdekaan Indonesia sesungguhnya dan berjuang untuk tetap menegakkan cita kemerdekaan Indonesia yang pada 1945 telah diprokamirkan. Masyumi berdiri diatas semua firqah Islam, dan dilahirkan sebagai wadah perjuangan yang disepakati oleh segenap ummat dan firqah islam saat itu, sehingga didalamnya tidak mengenal “aku” sebagai Nahdliyyin, Muhammadiyyin atau Al-Irsyadiyyin, tetapi “kita” sebagai muslimin yang berjuang untuk pencerahan manusia dengan ber-Amar ma’ruf nahi munkar.

Masyumi dengan konsepsi dan landasan ideologisnya itulah yang kemudian dianggap sebagai wajah politik islam indonesia, karena dianggap mampu menerjemahkan politik rosulullah saw. dalam alam indonesia, dengan mampu menjadi pemersatu dalam kebinekaan bangsa dan menjadi mesin politik konstitusi bagi kepentingan seluruh ummat islam indonesia, sehingga bukanlah satu yang mengagetkan jika pada masa itu Masyumi menjadi pemenang pemilu dengan raihan lebih dari 35% suara di parlemen, mengungguli PKI dan PNI.

Namun, yang perlu diingat, bahwa kejayaan era Masyumi sebagai satu simbol persatuan Islam politik Indonesia tidaklah lama, dikarenakan oleh dua faktor utama, yakni: Pertama, Faktor internal ummat Islam, dengan adanya perpecahan di dalam kubu partai sebagai akibat dari benturan kepentiangan politik dan munculnya benih ashobiyah, semisal terlalu mengedepankan perbedaan kelompok/ madzhab dari kesamaan cita bersama sebagai satu ummat; Kedua, Faktor eksternal, yakni berupa intimidasi dan gerakan penggembosan oleh rezim orde lama dan orde baru waktu itu dengan cara mencekal tokoh-tokoh masyumi dan pembekuan (pembubaran) partai bergambar bulan sabit-bintang tersebut dari arena politik nasional.

Sejarah politik Islam di Indonesia mencatat bahwa titik kemunduran politik Islam dimulai sejak terjadinya perpecahan dalam tubuh ummat islam itu sendiri, yang ditandai dengan perpecahan didalam diri masyumi, dimana Nahdlatul Ulama sebagai salah satu elemen penting dari adanya Masyumi menyatakan keluar dari keanggotaan partai dan muncul sendiri menjadi kekuatan politik islam baru. Hasil yang didapat dari perpecahan tersebut kemudian adalah kekalahan seluruh ummat Islam indonesia dan secara lebih besar lagi adalah mulai tidak jelasnya negara ini hendak dilabuhkan dimana, karena setelah periode itu berturutan tragedi kenegaraan menerpa negara ini, mulai dari diktatoriat Soekarno melalui demokrasi terpimpinnya, luluhnya sendi aqidah islam yang dengan alasan kepentingan nasional dibuatlah Nasakom (nasionalis-agamis-komunis), dan terakhir kita alami bersama adalah muncul dan berkuasanya orde baru.

Politisasi Islam ala Partai “Islam” ?
Fenomena dan nuansa awal reformasi bagi Islam politik, jika ditilik dari cita kebangsaan dan semangat pembaruan sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan nuansa Pemilu 1955 dulu, yakni sama-sama berkehendak mewujudkan tegaknya syari’at islam dan lurusnya cita perjuangan rakyat Indonesia. Namun bedanya dalam pandangan saya adalah; pertama, bahwa masa ini nuansa ashobiyah (firqiyah atau fanatisme golongan) diantara ummat islam sangat tinggi, yang telah menutup ruang bagi kemungkinan adanya penyatuan konsep dan bentuk saluran politik bersama; kedua, kenangan pahit perpecahan islam politik masa lalu yang merambah pada benturan ideologis antara NU dan kelompok pendukung masyumi lainnya; dan ketiga, lemahnya kesadaran politik ummat Islam Indonesia ditunjang dengan pendangkalan aqidah ummat, yang tercermin dari rendahnya mentalitas politik, budaya dan hukum muslimin sebagai penduduk mayoritas di Indonesia.

Tiga beda latar sosio-politis tersebut dalam kenyataannya menjadi satu yang sangat signifikan menjadi pembeda produk ijtihad politik Islam awal kemerdekaan dengan awal reformasi, sekaligus juga berpengaruh pada kualitas Parpol “Islam” masa reformasi ini, yang dalam pandangan penulis jauh dari cita politik Islam di Indonesia sebagaimana dimuka (baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafuurun). Ada beberapa alasan penulis berpandangan demikian, yakni :
1.      tidak adanya kesatuan visi dan misi dari segenap elemen partai politik yang berasas maupun yang berspirit Islam.
2.      fanatik kekelompokan (ashobiyah) terlalu besar, sehingga mengalahkan kepentingan politik Islam yang lebih besar.
3.      massa islam lebih sebagai obyek mobilisasi politik bagi pemenangan Pemilu, tanpa satu pencerdasan dan pencerahan berpolitik yang benar.

Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat bahwa wajah Parpol Islam saat ini diakui atau tidak telah jauh berbeda dengan Partai Masyumi yang dulu pernah ada, dimana cita tertinggi adalah kejayaan Islam yang berdiri diatas semua kepentingan dan keutamaan kebangsaan. Sedangkan Parpol yang menyatakan Islam saat ini lebih sebagai partai segolongan ummat Islam, yang berjuang untuk eksistensi (ideologi dan ajaran) golongan serta terpenuhinya marwah (Kedudukan dan kekuasaan) golongannya semata. Yang berpandangan dan menanamkan paham kepada anggotanya bahwa hanya dalam lingkup partainyalah Islam yang sebenarnya, dimana muslim yang berjuang dengan bendera partai lain, yang seharusnya ditempatkan sebagai rekan malah difahamkan sebagai saingan bahkan musuh politik yang harus dikalahkan.

Sungguh kontradiktif jika kondisi politik Islam dan Islam politik saat ini diperbandingkan dengan saat awal kemerdekaan dimana muslim dengan panji Masyumi berjaya dulu, karena marwah dan kepentingan yang diperjuangkan oleh partai politik saat ini penulis yakini tidak lagi murni Izzul Islam Wa Al-Muslimiin, tetapi banyak diantar jiwa dan semangat perjuangan yang berkecamuk dalam diri Parpol Islam itu yang “Pokoke” kelompokku. Pandangan penulis dalam ini penulis dasarkan pada suatu realitas obyektif yang dapat dibuktikan, dimana massa islam hanya dijadikan obyek mobilisasi semata. Tidak ada proses pendidikan politik yang cerdas dan mencerahkan bagi kader partai mereka, serta tidak ada syi’ar (dakwah) Islam yang tanpa embel-embel (kepentingan) kepartaian mereka.

Parpol berlebel Islam di era pasca- reformasi ini tetaplah Partai politik yang kental dengan kepentingan kekuasaan. Beda mereka mungkin hanyalah labelisasi pola mobilisasi politik dan rekrutmen kader mereka, dimana mereka menggunakan kegiatan semacam kajian rutin, Tabligh akbar serta daurah-daurah Islamiyah yang seharusnya sebagai sarana Tarbiyatul Islamiyah menjadi Tarbiyatul Hizbiyah (ashobiyah). Malahan, ada satu partai yang dalam merekrut kader dan membesarkan partainya, dijalankan dengan mencederai keberadaan Ormas lainnya, dimana pola demikian terang-gamblang tidaklah dapat dikatakan sejalan dengan tuntunan Islam. Mau bukti? tanyakan pada anak-anak SMA (khususnya yang negeri) apakah kegiatan keislaman mereka yang diwadahi dalam ROKHIS itu pernah atau sering menyinggung profil satu Parpol tertentu? cek pula berapa banyak sudah TPQ dan Masjid yang awalnya murni untuk dakwah Islam, berubah fungsi sebagai sarana kampanye dan tempat pengembangan “dakwah” partai?

Masih butuh bukti lagi? silahkan tanya kepada petinggi Muhammadiyah, kenapa mereka begitu panik hingga mengeluarkan sebuah maklumat yang berisi larangan untuk ikut masuk dan himbauan untuk turut menjaga diri dan jarak dari pengaruh dan ekspansi kepentingan PKS. Serta jangan pula lupakan bagaimana kader NU saat ini ditarik kesana-kemari hingga dibuat pusing oleh ulah Kiai-Kiai-nya yang saling sikut berebut tumpeng kuasa melalui Partai politik.

Apapun Partainya Yang Penting Islamnya.
Narasi diatas bukan kemudian penulis maksudkan untuk melarang anda untuk masuk kedalam Parpol Islam atau yang katanya Islam, serta tidak juga ada maksud untuk menghimbau agar mereka (Parpol Islam) itu bubar, apalagi mengajak anda kembali bercengkerama dengan sejarah yang dalam pandangan penulis mustahil untuk dihidupkan kembali. Narasi diatas adalah sekedar referensi yang penulis miliki untuk (moga-moga) jadi bahan refleksi diri bagi kita dalam memperjuangkan islam, terutama dalam rimba politik nasional.

Diakhir tulisan ini, ada beberapa catatan kritis dan reflektif bagi ummat islam dalam berpolitik Islam, yakni :

Pertama. Muslimin Indonesia harus sadar bahwa Izzul Islam dan Indonesia merdeka adalah satu kesatuan cita politik Islam, karena sesungguhnya Indonesia diperjuangkan oleh Muslim yang saat itu rindu kemerdekaan guna ketenteraman beribadah dan hidup mereka, sehingga memperjuangkan Islam di Indonesia harus juga dengan cara Menjayakan dan mensejahterakan negara Indonesia.

Kedua. Muslimin harus cerdas dan sadar dalam berpolitik dan tidak terjebak dalam fanatisme kepartaian. Artinya Muslimin tidak boleh terjebak pada bungkus partai tanpa melihat isinya, yakni apa visi-misinya, bagaimana manhaj gerakannya serta siapa yang nantinya menjadi wakil dia dalam memperjuangkan kepentingannya. jangan sampai “Asalkan partai Islam,calon legislatif/presiden tak paham ilmu negara ramai-ramai kita pilih”.

Ketiga. Kepentingan Islam tidak boleh dikotori oleh kepentingan politik partai, dan sebaliknya kepentingan politik Parpol harus terwarnai oleh visi dan misi Islam. Artinya, Parpol islam jangan sampai gadaikan kebenaran ajaran islam hanya untuk dapat simpatik dan dukungan mayoritas. Semisal saat ini banyak Jurkam Parpol Islam yang rela meninggalkan aqidah dan berpartisipasi dalam kegiatan bid’ah dan khurofat demi mendapat simpati dan dukungan masyarakat tersebut untuk duduk di DPRD/ DPR.

Keempat. Jika tidak mungkin ada hanya satu partai, maka sikap politik muslimin harusnya “Islam tidak kemana-mana, tapi Muslimin beserta kepentingan islam harus ada dimana-mana”. Artinya paradigma fanatisme harus dikembalikan pada fanatisme agama, bukan fanatisme golongan dan Parpol. Dengan paradigma ini Islam akan jaya, karena dimanapun seorang muslim berada, maka disanalah kepentingan Islam diperjuangkan, dan jalinan kerjasama nantinya bukan semata antar partai, tetapi lebih dari itu adalah jalinan antar person yang terikat oleh visi-misi Islam yang satu, karena pula bukankah didalam parlemen anggota DPR/DPRD adalah penjelmaan suara rakyat yang memilih dan bukan semata wakil Parpol?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar