Kamis, 10 Maret 2011

Membaca Harus Menguntungkan !


BERHITUNGLAH DALAM MEMBACA

Beberapa waktu lalu saya melihat tayangan gosip di salah satu stasiun televisi yang menyajikan liputan kasus Nazril Ilham (Ariel) yang sudah sudah memasuki tahap persidangan. Khas warta gosip, tayangan saat itu menyajikan warta yang begitu menarik, namun yang menarik bagi saya bukanlah kasus hukum yang penuh intrik dan sarat kepentingan politis tersebut, karena merujuk pada logika hukum harusnya Ariel tidak layak ditempatkan sebagai tersangka dan bagi saya konflik hukum yang dimunculkan oleh polisi dan beberapa Ormas terlihat mengada-ada. Bagi saya yang menarik adalah pernyataan Ariel ketika melayani wawancara dengan awak media yang mendatanginya sesaat sebelum persidangannya dimulai.
Saat ditanya wartawan tentang kesibukannya di rumah tahanan selama kasusnya diproses hingga persidangan ini, Ariel menjawab bahwa waktunya banyak dihabiskan dengan aktifitas-aktifitas ringan yang positif, salah satunya kata Ariel adalah dengan membaca buku-buku sejarah dan biografi tokoh-tokoh, salah satunya adalah tulisan Ir. Soekarno dan biografi Nabi Muhammad SAW. Nah yang menggelitik nalar dan kedirian saya adalah ketika para wartawan tersebut bertanya tentang seberapa sering dan banyak dia membaca, ketika itu Ariel menjawab "Biasanya sih kalau buku setebal 200 halaman bisa selesai dalam sehari", dan para wartawan itu memujinya dengan berkata "Wah, hebat tuh". Mendengar pujian wartawan itu sontak Ariel dengan tertawa kecil membalas "Apanya yang hebat, itu sih kurang kerjaan".
Pernyataan Ariel tersebut membuat nalar saya penuh dengan pertanyaan "Apakah menghabiskan waktu dengan membaca ratusan halaman buku itu pekerjaannya orang yang kurang kerjaan yah? kalau ya, berarti selama ini aku termasuk orang yang kurang kerjaan dong?!". Kegiatan membaca pada dasarnya memiliki tingkat kemanfaatan dan nilai positif yang tinggi, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas intelektual dan keluasan cakrawala pemahaman hidup kita, karena sebagaimana pameo menyatakan bahwa "buku adalah cendela ilmu, banyak membaca banyak tahu". Peningkatan kualitas diri tersebut diperoleh dari informasi yang tersaji dalam buku, buku terutama yang bersifat ilmiah dan non fiksi selalu menampilkan suatu informasi yang tingkat validitas data dan/atau faktanya dapat dipertanggungjawabkan kepada pembacanya, karena proses penggalian kebenarannya didasarkan pada satu standard metodologi ilmiah yang diakui kebenarannya. Oleh karenanya kegemaran dan/atau kemampuan membaca ratusan halaman tiap hari layaknya Ariel tersebut bagi sebagian orang, khususnya mereka yang berada dalam ranah akademisi dan penggiat sosial politik adalah sesuatu yang hebat dan membanggakan, karena kegemaran dan kemampuan itu dijadikan sebagai dasar pencitraan diri bahwa dia terpelajar, kaya teori dan faham banyak hal.
Kendatipun hobi dan kegiatan membaca itu besar manfaatnya bagi pengembangan diri, namun apa yang disampaikan Ariel tersebut dalam beberapa hal bagi saya kiranya tidak begitu salah, terutama dalam konteks tujuan, skala kebutuhan dan proporsionalitas kegiatan membaca dalam berkehidupan kita. Tujuan dari aktifitas membaca adalah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan kehidupan, dengan demikian target dari membaca itu adalah untuk mendapatkan pemahaman yang benar, menyeluruh dan mendalam atas permasalahan kehidupan yang kita hadapi, sehingga pada akhirnya kita mampu menjalani kehidupan dan menghadapi permasalahan yang menyertainya dengan baik dan bijaksana. Seseorang yang referensi bacaannya ratusan tetapi sikap hidupnya tidak bajik dan bijak, bahkan cenderung merugikan dan membuat resah kehidupan orang lain, tentunya akan menjadikan kegiatan membacanya itu menjadi "kurang kerjaan", karena apa yang menjadi tujuan dari membaca sebagai sarana pemulya dan pencerah hidup itu tidak terpenuhi.
Membaca menjadi tidak kurang kerjaan manakala didasarkan pada satu analisis kebutuhan yang progresif berdimensi Ilahiah, karena manusia sebagai mahluq Tuhan yang paling mulya tentunya tidak hanya digerakkan oleh insting hewaniahnya semata, tapi lebih dari itu juga digerakkan oleh insting Ilahiah berupa rasionalitas dan moralitas. Rasionalitas menuntut seorang pembaca memperhatikan aspek kebergunaan dan prioritas dari referensi yang dibaca bagi peningkatan kualitas dirinya, sebagai contoh seorang yang menempuh studi Ilmu hukum tentunya akan lebih banyak menghabiskan waktu bacanya dengan membaca literatur-literatur hukum dan literatur sosial politik sebagai pengayannya. Aspek moralitas sebagai landasan kebutuhan menuntut seorang pembaca memperhatikan aspek kelayakan dan kepatutan bahan bacaannya, parameter dari keduanya adalah kejujuran nurani, tuntunan agama dan kearifan lokal lingkungan sekitarnya. Membaca yang tanpa didasari oleh analisis kebutuhan yang benar tidak hanya sekedar kurang kerjaan, bahkan bisa berdampak negatif bagi kehidupan kita, banyak kasus disekitar kita seorang pelajar terjebak pada pola hidup hedonisme dan tindakan asusila karena hendak meniru dan mencoba-coba apa yang sering dibacanya dari komik-komik dan nove-novel dewasa.
Aspek prioritas dan skala kebutuhan tidak hanya berkaitan dengan pilihan bacaan saja, melainkan berkaitan dengan aspek proporsionalitas dalam menjalankan kehidupan sebagai seorang manusia. Proporsionalitas dalam konteks ini adalah keseimbangan dan kesetimbangan pelaksanaan kegiatan membaca tersebut dengan eksistensi kehidupan seseorang dalam kesehariannya. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa eksistensi manusia meliputi manusia sebagai homo economicus yang dalam kehidupannya berkebutuhan untuk melakukan proses ekonomi guna pemenuhan kebutuhan penghidupan, dan homo sociale (zoon politicon) yang menuntut manusia untuk berinteraksi saling tolong dengan sesama serta membina hubungan dan karier kekuasaan yang keduanya ditujukan sebagai sarana pengada diri dalam strata masyarakat. Kegiatan membaca harus mampu menunjang kebutuhan eksistensial manusia tersebut, dalam pengertian membantu manusia dalam proses penguasaan ekonomi dan pemulyaan diri ditengah interaksi kehidupan bermasyarakat, jangan sampai kegemaran kita dalam membaca berbagai literatur malah melalaikan kita pada kewajiban eksistensial kita dalam masyarakat atau bahkan membuat kita teralienasi dari lingkungan kita.
Terlepas dari kemungkinan bahwa pernyataan Ariel tersebut hanya bersifat merendah diri, apa yang dikatakannya bahwa rutinitas membaca ratusan halaman buku dalam sehari adalah kegiatan yang mubadzzir dan kurang kerjaan bisa jadi benar, jika membaca ratusan halaman buku tersebut tidak mampu membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas diri. Membaca bagi seseorang layaknya juga Ariel diharapkan menjadi pintu bagi terbukanya ruang kecerahan dan sumber inspirasi dalam berkarya dan menjalani hidup, manakala bacaan yang dikonsumsi tidak mampu memenuhi harapan tersebut maka menghabiskan waktu dengan berlama-lama membaca buku akan terasa sebagai sesuatu yang mubadzzir dan kurang kerjaan. Beranjak dari logika tersebut, maka sudah menjadi satu kelayakan bagi kita untuk kembali berhitung atas apa yang kita lakukan di keseharian kita, sudahkah aktifitas keseharian kita itu termasuk dalam kategori aktifitas yang positif, dan apakah kegiatan yang kita anggap positif itu membawa nilai tambah bagi perbaikan kualitas kehidupan kita? Karena sebagaimana gambaran diatas, tidak selamanya aktifitas yang terlihat baik dan prestisius itu baik bagi progres kehidupan kita. Dalam hidup yang hanya sekali dan dalam konsep ruang-waktu yang tidak akan bisa diulang kembali ini berhitung diri menjadi sangat penting, karena setiap detik dan menit aktifitas kehidupan kita saat ini menentukan sukses pencapaian akhir kehidupan kita, salah menghitung dan terlalaikan dengan aktifitas yang terlihat baik diluarnya tapi tidak membawa nilai tambah bagi progres diri, sama artinya dengan menyiapkan masa depan yang penuh dengan penderitaan dan penyesalan tak berkesudahan.



Anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab. Mojokerto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar