Jumat, 11 Maret 2011

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA


Indonesia sebagai suatu negara telah menegaskan dirinya dalam konstitusi negara sebagai sebuah Negara kesatuan yang berbentuk republik, konsekwensi dari diambilnya konsepsi tersebut adalah pengakuan sekaligus penataan dirinya sebagai sebuah negara kesatuan (eenheidsstaat) sekaligus juga sebagai sebuah negara hukum (rechtsstaat). Negara Kesatuan mengacu pada konsep negara yang tata pemerintahannya dikelola satu sistem pemerintahan secara hierarkhis tanpa mengenal adanya negara dalam negara. Adapun konsep negara hukum merujuk pada satu bentuk penyelenggaraan kekuasaan negara yang didasarkan pada dasar konstitusional dan tertib hukum dengan menempatkan hukum sebagai satu-satunya koridor penyelenggaraan kekuasaan dan kepentingan dalam kehidupan bernegara.

Pemahaman bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik itulah yang mendasari penataan dan pelaksanaan sistem desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan konsep otonomi daerah selama ini. Adanya konsep otonomi daerah sebagai sebuah proses pemencaran kekuasaan dari pemerintah pusat kepada wilayah dan/atau daerah-daerah yang lebih kecil adalah konsekwensi logis dari pelaksanaan konsep negara hukum yang demokratis dalam sebuah negara yang tidak mengenal adanya negara bagian. Pemencaran kekuasaan tersebut pada prinsipnya adalah cara bagi sebuah negara untuk meminimalisir penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh pusat, yang dapat berujung pada munculnya kekuasaan negara absolut.

Pengkajian terhadap sistem otonomi daerah di suatu negara hanya dapat dilaksanakan dengan benar dan komprehensif jika dilandasi oleh pemahaman yang benar dan lurus terhadap pilihan konsep negara yang dianut oleh negara tersebut. Untuk itu kajian atas bentuk negara kesatuan dan konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia berikut kiranya bermanfaat sebagai pintu untuk memahami dasar pilihan diterapkannya desentralisasi (otonomi daerah) di Indonesia.

1. Negara Kesatuan Indonesia.
Konsep negara kesatuan adalah konsep bentuk negara paling tua dalam sejarah kenegaraan, karena sampai dengan abad pertengahan hanya dikenal bentuk negara kesatuan sebagai satu-satunya bentuk negara, adapun federasi sebagai padanan bentuk negara baru ada dan baru dikenal sejak lahirnya Amerika serikat sebagai satu negara merdeka.1


Konsep negara kesatuan merujuk pada bentuk negara yang hanya mengenal satu kedaulatan, berasal dari rakyat dan berada di tangan negara (kedaulatan berada pada tangan pusat), dengan tidak mengenal adanya negara-negara bagian yang berdaulat. Penajaman makna dapat dilakukan dengan pembandingan dengan konsep negara federal dengan menggunakan rumus negatif, yakni apa yang menjadi ciri negara federal adalah negasi dari bentuk negara kesatuan.

Konsep negara kesatuan yang pada pada awalnya memberi andil atas lahirnya pemerintahan negara yang totaliter dan otoritarian, dalam perkembangannya seiring dengan tuntutan demokratisasi yang mengharuskan adanya pembagian kekuasaan negara, maka lahirlah ide unitarisme yang terdesentralisasikan, sebagaimana kita kenal sekarang dengan istilah otonomi daerah.

Konteks ke-Indonesiaan, Pilihan bentuk negara kesatuan sebagaimana terdapat dalam Bab I UUD 1945, merupakan hasil permufakatan para pendiri bangsa ini pada saat awal perumusan negara dan juga konstitusi negara. Ada beberapa alasan yang disampaikan terkait dipakainya konsep negara kesatuan, sebagaimana apa yang disampaikan oleh M. Yamin dimuka sidang BPUPKI berikut ;

Negara serikat tidaklah kuat, tidak berwarna dan djuga tidak dapat didjamin kekuatan atau keteguhannja didalam kegontjangan zaman sekarang dan untuk zaman damai ... apabila negara hendak dibentuk diseluruh tanah Indonesia setjara negara serikat, maka dengan sendirinja federalisme jang boleh timbul oleh karena pembentukan negara serikat itu ... pulau-pulau lain akan kekurangan kaum terpeladjar, dan negara federalistis tidaklah dapat dibentuk, karena tenaga untuk itu tidak ada....2

Dari nukilan pidato tersebut, dapat difahami bahwa berdasar pertimbangan historis, filosofis dan faktual negara Indonesia tidak memungkinkan untuk dibentuk dengan berdasar pada faham federalistik. Disamping juga besarnya desakan dari angkatan muda saat itu untuk mengesampingkan federalisme dan membentuk satu eenheidsstaat.

Konsep Negara kesatuan Indonesia sendiri dapat digali dari UUD 1945 yang kendati telah diamandemen beberapa kali tetapi tetap teguh, dan bahkan semakin memperteguh konsepsi Indonesia sebagai satu eenheidsstaat, sebagaimana ketentuan dalam Bab XVI tentang Perubahan Undang-undang Dasar, Pasal 37 ayat (5) bahwa “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia Tidak Dapat Dilakukan Perubahan”.

Merujuk pada sejarah perumusan UUD 1945, maka konsep negara kesatuan Indonesia sejatinya lahir sejak sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang juga merupakan hari lahirnya Bangsa Indonesia, sehingga unitarisme itu merupakan falsafah hidup bangsa.

Muhammad Yamin memaknai konsepsi negara kesatuan secara lebih luas dan mendalam sebagai kesatuan bangsa, kesatuan tanah air dan kesatuan negara, yang berarti penolakan terhadap faham federalisme yang bernegara bagian, dengan mengingati pula bahwa dalam unitarisme itu dijalankan sebuah bentuk pemerintahan demokratis dan berkeadilan, yang dijelmakan dengan adanya pembagian kekuasaan baik yang bersifat vertikal (otonomi daerah) maupun horisontal.3

Pandangan M Yamin tersebut secara konstitusional selaras dengan ide dasar pembagian kekuasaan secara vertikal yang termuat dalam ketentuan dalam Bab VI, Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa: 

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Pernyataan “…dalam sistem pemerintahan negara”, menunjukkan bahwa di Indonesia hanya dikenal satu sistem pemerintahan negara yang berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan itu artinya tidak ada istilah negara lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemahaman tersebut sejalan dengan Penjelasan Pasal 18 tersebut, bahwa “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga”.

2. Negara Hukum Indonesia.
Sebelum membahas bagaimana konsep negara hukum Indonesia, baiknya kita lihat dahulu konsepsi negara hukum itu sendiri. Konsep Negara hukum secara historis beranjak dari pemikiran Plato pada masa Yunani kuno, yakni dalam karyanya yang berjudul Nomoi. Plato berpandangan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tersebut dikuatkan oleh Aristoteles dalam karyanya berjudul Politica, bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yakni :

“…pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.” 4

Substansi utama dari konsep negara hukum adalah bahwa sebuah negara dan sistem pemerintahan negara haruslah dijalankan dengan berlandaskan pada hukum yang berkedaulatan rakyat, dan oleh karenanya maka penggunaan kekuasaan oleh pemerintah tidak boleh melampaui, menyalahi dan bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Perkembangan konsepsi negara hukum memunculkan dua arus utama pemikiran dengan berafiliasi pada dua madzhab hukum utama, yakni; Pertama. Madzhab hukum Anglo Saxon atau common law system dengan konsepsi The Rule Of Law. Kedua, budaya hukum Eropa kontinental atau civil law system dengan konsep Rechtsstaat. Sebagai negara yang lama dalam penjajahan belanda, maka konsep negara hukum, demokrasi dan sistem hukum Indonesia lebih cenderung mengacu pada konsep civil law system. Namun, perlu diingat bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah titik dimana negara ini menolak sistem hukum kolonial dan memproklamirkan bentuk negara, bentuk pemerintahan dan sistem hukumnya sendiri, yakni sistem hukum Pancasila.

3. Konsep Negara Hukum Pancasila.
Istilah Negara Hukum Pancasila lahir dan digunakan untuk memberi penegasan bahwa landasan ideologis dan falsafati dibentuknya NHI (Negara Hukum Indonesia) adalah nilai luhur pancasila yang telah ditempatkan sebagai satu dasar negara (Philosophische Grondslag), sebagaimana tersebut dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, kuat dan tetap serta tidak dapat diubah dengan cara apapun, berkedudukan sebagai landasan bagi menetapkan tata hukum dan pemerintahan di indonesia.5

Kendatipun bekas jajahan Belanda dan pernah menjalankan hukum kolonial, namun tidak serta merta dapat dikatakan bahwa konsep negara hukumnya identik Belanda, karena secara historis dan filosofis kelahiran Indonesia berbeda dengan Belanda. Karena Indonesia sebagai sebuah negara sejak lahir sudah anti penindasan dan kesewenangan.6

Dengan mengkaji konteks historical-philosophic yang meliputi keberadaan Indonesia merdeka, Negara Hukum Pancasila sebagai konsep yang khas Indonesia dan berbeda dari konsepsi lain baik itu rechtsstaat maupun the rule of law, menurut Philipus M. Hadjon7 memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar, yakni diantaranya :
  1. Jika dalam konsep rule of law dan rechtsstaat menempatkan Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai titik sentralnya, maka bagi bangsa Indonesia yang tidak menghendaki faham liberal-individualistic, titik sentral dari Negara Hukum Pancasila adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan (kekeluargaan/gotong royong).
  2. Jika dalam rangka perlindungan HAM konsep rule of law mengedepankan prinsip “equality before the law”, dan prinsip “rechtmatigheid” untuk rechtsstaat, maka konsep pancasila mengedepankan “asas kerukunan” untuk menjaga keserasian serta keselarasan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya, dimana dari asas tersebut diharapkan nantinya terjalin hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.
  3. Konsep Pancasila lebih mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam tiap penyelesaian sengketa, dengan meletakkan penyelesaian melalui jalur peradilan sebagai langkah terakhir.
Negara hukum pancasila dalam pandangan Soepomo merupakan aktualisasi dari cita negara Integralistik, yang terdiri unsur-unsur sebagai karakteristik dari konsep bernegara pancasila, yakni; pertama, kesatu paduan antar elemen kenegaraan untuk mencapai (keseimbangan hidup) lahir dan batin (asas kerukunan); kedua, tidak diterimanya faham pemisahan antara negara (pemerintah) dan individu (rakyat), dan antar kekuasaan pemerintahan; ketiga, pemerintahan tidak dijalankan secara sentralistik dan otoriter; keempat, kedaulatan adalah ditangan rakyat, dalam artian sistem hukum dan konstitusi haruslah timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya; kelima, negara berkewajiban mengurus dan mengusahakan terwujudnya apa yang menjadi cita-cita luhur rakyat; keenam, pengakuan dan penghormatan terhadap keberagaman suku bangsa, ras dan bahasa, dimana tata pemerintahan dibangun diatas integrasi (harmoni) keberagaman dan atas dasar kekhasan dan keaslian indonesia sebagai sebuah bangsa.8

Moh. Hatta dalam pidatonya secara tersirat menggambarkan cita negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep negara pengurus, yakni:

memang kita harus menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama … Akan tetapi kita mendirikan negara yang baru. hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita buat jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan kepada gotong royong, usaha bersama, tujuan kita adalah membarui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan diatas negara baru suatu negara kekuasaan….kedaulatan rakyat yang kita temui di dalam majelis permusyawaratan rakyat dan penyerahan kekuasaan kepada presiden, ialah presiden jangan sanggup menimbulkan suatu negara kekuasaan…ada baiknya jaminan diberikan kepada rakyat hak merdeka berpikir.9

Pandangan Moh. Hatta tersebut menitik beratkan pada perlunya jaminan terhadap penegakan dan penghormatan Hak-hak dasar warga negara, yang harus dengan jelas dicantumkan secara tertulis dan pada ruang tersendiri dalam Konstitusi negara, dimana pencantuman Hak-hak dasar tersebut nantinya diharapkan akan menjadi landasan bagi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak kesewenang-wenangan penguasa yang dimungkinkan hadir.

Philipus M. Hadjon dalam desertasinya menjelaskan bahwa Negara Hukum Pancasila secara elementer berpegang pada beberapa prinsip dasar sebagai berikut :
  1. Hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan. Asas kerukunan adalah perwujudan dari jiwa dan spirit kebangsaan Indonesia yang dibangun diatas kebersamaan (komunalisme) bukan individualisme, yang menonjolkan budaya gotong royong dan kekeluargaan diantara elemen kebangsaan, sehingga yang hendak dicapai dari adanya demokrasi dan negara berdasar hukum adalah keserasian/ keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat.
  2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara. Jalannya kekuasaan negara tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan yang bersifat rigid dan tegas, namun lebih sebagai bentuk pembagian kekuasaan, sehingga antara kekuasaanyang satu dengan kekuasaan lain dalam praktek pemerintahan terjalin suatu hubungan fungsional yang proporsional dan selaras. Prinsip ini secara mendasar tidak memerlukan sistem check and balances, karena dengan pola hubungan yang fungsional proporsional tersebut, setiap proses berpemerintahan dan berkebijakan akan senantiasa melalui mekanisme permusyawaratan sebagai mekanisme asli bangsa Indonesia.
  3. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. Pemahaman ini beranjak pada asas kerukunan yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan, dimana permusyawaratan adalah cara bangsa Indonesia untuk menyelesaikan masalahnya.
  4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Pola pandang bangsa yang komunalistik menjadikan bangsa Indonesia lebih mendahulukan untuk terlaksananya kewajiban dari pada hak.10
4. Demokrasi dan Good Governance.
Menyimak bahasan diatas, dapat dilihat bahwa antara demokrasi dan negara hukum memiliki keterkaitan yang erat, karena disatu sisi konsep negara hukum diadakan dan dijalankan dalam rangka menjamin adanya tata pemerintahan demokratis di suatu negara, disisi lain sebuah negara hukum mendasarkan dirinya dan tata sistemiknya pada asas-asas dan prinsi-prinsip demokrasi guna menjamin legitimasinya.

Demokrasi yang didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat sesungguhnya bermuara pada usaha untuk menciptakan tata pemerintahan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dengan mengedepankan perlunya partisipasi sebesar mungkin warga dalam proses kepemerintahan negara sebagai bentuk dari kedaulatan rakyat,11 adalah sebuah konsep yang dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman dan letak dimana demokrasi itu hendak dipraktekkan.

J.B.J.M Ten berge secara umum mengemukakan prinsip-prinsip dasar demokrasi sebagai berikut :
  1. Perwakilan politik. Keputusan politik tertinggi diputuskan oleh badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan umum.
  2. Pertanggungjawaban politik. Organ pemerintahan dalam menjalankan fungsinya bertanggungjawab kepada lembaga perwakilan.
  3. Pemencaran kewenangan guna mengantisipasi agar tidak adanya diktatorial.
  4. Pengawasan dan kontrol. Prinsip bahwa pelaksanaan pemerintahan harus dapat dikontrol.
  5. Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum.
  6. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.12
Sepakat dengan Ten Berge, Konijnenbelt menambahkan perlunya bagi setiap keputusan untuk melindungi hak dan kepentingan minoritas serta harus seminimal mungkin menghindari ketidak benaran dan kekeliruan.13

Sebagai sebuah negara hukum demokratis, Indonesia memiliki konsepsi demokrasinya sendiri yang khas, yakni sebuah sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat, dengan mengingati bahwa kerakyatan itu dipimpin dan dijalankan oleh dan atas dasar hikmah kebijaksanaan dalam sebuah permusyawaratan perwakilan. Sebuah demokrasi yang bersumber pada nilai luhur Pancasila yang mengedepankan harmoni dan keselaras-serasian hubungan antara penguasa dan rakyat, keseimbangan antara kewajiban dan hak.

Demokrasi pancasila yang bersifat komunalistik pada asalnya lahir sebagai bentuk dari peningkatan demokrasi adat, yakni mengadopsi cara dan tatanan demokrasi yang tersebar dalam praktek kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Secara mendasar prinsip-prinsip demokrasi pancasila sama dengan prinsip-prinsip umum demokrasi diatas, namun satu yang perlu dicatat bahwa sifat komunal dari demokrasi pancasila ada pada konsepsi adat dan permusyawaratan sebagai mekanisme perlindungan HAM dan pengejawantahan kedaulatan rakyat.14

Kendati secara asali demokrasi Pancasila bersumber dari adat dan kearifan lokal bangsa, dalam perkembangan selanjutnya ide demokrasi Pancasila menyelaraskan dirinya dengan perkembangan wacana HAM dan good governance (GG). Hal ini tercermin dari Amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, diantaranya dengan perubahan serta penambahan beberapa ketentuan dalam pasal 18, serta dimasukkannya prinsip-prinsip HAM kedalam satu bab khusus (BAB XA), sehingga memberi penegasan bahwa demokrasi indonesia tidaklah alergi terhadap istilah HAM beserta issue turunannya.

Kelahiran konsep GG yang dibidani oleh UNDP pada intinya menuntut adanya kesetaraan kedudukan dan kesaling terhubungan (integration) antara pemerintah (state), pasar (private sector) dan masyarakat (society). Dalam konteks Indonesia, GG lahir seiring dengan tuntutan perbaikan kualitas pelayanan publik, sistem peradilan yang dapat diandalkan serta tuntutan transparansi dalam pelaksanaan kekuasaan negara.15 Good governance sendiri mengandung pengertian suatu mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya dan memecahkan masalah-masalah publik dengan melibatkan stake holder secara aktif dan setara, serta memiliki unsur-unsur akuntabilitas, partisipasi, predictability dan transparansi dalanm pelaksanaannya.16

Menurut UNDP ada 8 (delapan) prinsip utama yang menyusun dan mendasari pelaksanaan Good Governance, yakni :
  1. Partisipasi;
  2. Transparansi;
  3. Akuntabel;
  4. Efektif dan efisien;
  5. Kepastian Hukum;
  6. Responsif;
  7. Konsensus;
  8. Setara dan inklusif.17
Prinsip-prinsip tersebut diadopsi dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Pasal 3 sebagai Asas-asas umum penyelenggaraan negara, yakni :
  1. Asas Kepastian Hukum. Yakni mengutamakan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara;
  2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
  3. Asas Kepentingan Umum. Yakni harus mendahulukan kesejahteraan umum dengancara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
  4. Asas Keterbukaan. Yakni keharusan membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara;
  5. Asas Proporsionalitas. Yakni mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara;
  6. Asas Profesionalitas; Yakni mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  7. Asas Akuntabilitas. Yakni menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlak.
Tujuh prinsip tersebut kemudian diaku serta dimasukkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 20, dengan ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas, berfungsi sebagai landasan asasi bagi penyelenggaraan tata pemerintahan daerah di Indonesia.

Dimasukkannya prinsip-prinsip tersebut dalam UU No. 32 tahun 2004, bermakna bahwa ukuran keberhasilan dan kebaikan dari tata kepemerintahan daerah di Indonesia adalah jika tata laksana kepemerintahan di daerah tersebut selaras dan serasi dengan asas-asas tersebut, termasuk didalamnya pelaksanaan kepemerintahan di desa.

1Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik, Mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokrasi, Fokusmedia, Bandung, 2007, hal. 58-59.
2Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 1945, hal. 236-238
3H. Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Tjipanas, 1960, hal. 286-288.
4 Ridwan H.R., HUKUM ADMINISTRASI NEGARA, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2007, hal. 2.
5HAM Effendy, Falsafah Negara Pancasila (sejarah, fungsi, pengamalan dan pelestariannya), Cet. ketiga, Duta Grafika, Semarang, 1993, hal. 37.
6Philipus M. Hadjon, 1987, Op.Cit, hal. 84.
7 Ibid, hal. 84-85.
8 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959. hal.110-115.
9 Ibid, hal. 299-300.
10 Philipus M. Hadjon, Op.cit, hal. 85-90.
11Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi (proses dan prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah), Alih bahasa: I Made Krisna, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 15.
12Ridwan H.R., 2007, Op. Cit, hal. 10.
13Ibid, hal. 13.
14 Hazairin, DEMOKRASI Pancasila, (cetakan kelima), Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 41.
15AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko, Ed., Membangun Good Governance Di Desa, IRE Press, Yogakarta, 2003, hal. 18.
16Hetifah Sj Sumarto, Inofasi, Partisipasi dan Good Governance (20 Prakarsa Inovatif dan partisipatif di Indonesia), Edisi 2, Yayasan Obor Indonesia, 2004, hal. 17.
17Agus Dwiyanto, Ed., Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 82.

1 komentar:

  1. SEMUA TULISAN NEGARA KESATUAN DIATAS..BATIL + HARAM!!!!!!...BETAPAPUN HEBATNYA KALIAN MENYEMBAH2 DAN MENDEFINISIKANNYA

    BalasHapus